Legenda Angkringan Jogja
Budaya kuliner Jogja bukan sekadar nasi gudeg dan bakpia pathok yang sudah lama kondang. Bukan juga sekadar warung lesehan yang terhampar di sepanjang jalan legendaris, Malioboro.
Nyaris di setiap sudut kota Jogja, apalagi di sekitaran kampus-kampus, Anda dapat dengan mudah menemukan warung remang-remang yang penerangannya memang hanya disinari lampu templok minyak. Orang-orang Jogja menamainya dengan Angkringan. Ada pula, termasuk saya, menyebutnya warung koboi, biar terkesan lebih keren dan klasik.
Asal mula angkringan, konon berasal dari daerah Ceper, Klaten. Ratusan orang dan keluarga menggantungkan hidupnya dengan usaha kecil ini. Saking penuhnya pemain angkringan di Klaten, mereka kemudian meluaskan daerah jualannya ke luar kota untuk merebut pasar baru. Daerah tujuan terdekat adalah Jogja di sebelah barat, dan Solo di sebelah timur. Di Solo, warung ini dinamakan Hik.
Sebenarnya kurang tepat dikatakan dengan warung, karena konsep angkringan sangat simpel, hanyalah gerobak dorong dengan menggelar beberapa tikar di trotoar jalan (lesehan). Setiap angkringan pada umumnya, maksimal mungkin dipenuhi 15 orang saja.
Daftar makanan yang ditawarkan standar saja, menyediakan menu-menu tradisional, sebut saja nasi kucing oseng-oseng, teri, gorengan, sate usus, sate telor puyuh, tempe-tahu. Adapun ragam minumannya teh, jeruk, tape, susu, jahe, dll. Seluruhnya ditawarkan dengan harga terjangkau dan hampir seragam setiap angkringan seantero Jogja.
Sesungguhnya bukan hanya daftar menu tersebut yang menjadi prioritas utama, namun konsep dan suasana yang menjadi daya tarik orang berbondong ke angkringan. Suasana malam kota Jogja yang nikmat terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Saya termasuk yang menikmati suasana angkringan, paling sering warung koboi di Tamsis, pertigaan Kotagede, dan sisi utara Stasiun Tugu dengan kopi arang jos legendaris. Paling kurang tiga jam menghabiskan waktu di tempat tersebut, bahkan biasa semalam suntuk sampai pemiliknya menutup dan menggulung tikarnya sekitar jam tiga pagi. Selama itu, kadang hanya satu-dua gelas minuman hangat, beberapa potong gorengan plus kacang rebus yang dipesan.
Sepanjang malam, kami hampir tidak pernah berhenti berdiskusi santai, biasanya ditemani lagu-lagu campur sari atau lagu-lagu keroncong. Ngobrol tentang siapa dan apa saja. Mulai dari tentang perkuliahan, tempat kos, kiriman uang yang belum datang, curhat laki-laki, cewek-cewek, dan sebagainya.
Di tempat ini Anda susah menjaga rahasia. Selalu saja ada waktu keceplosan berbicara, karena semakin larut, obrolan semakin seru. Jadi saya sarankan untuk yang berkomitmen memegang rahasia, angkringan bukan tempat yang tepat untuk anda kunjungi, hehehe.
Lebih dari sekadar warung umum yang menyediakan jajanan pasar. Namun telah memasuki aspek sosial budaya bagi setiap orang yang mendambakan suatu ruang publik yang murah dan bersahaja.
Angkringan berlaku untuk semua kalangan, tak boleh ada jarak apa pun. Saya sering bertemu dengan beberapa seniman dan budayawan Jogja nongkrong di angkringan, sebut saja Butet Kertarajasa, Emha Ainun Nadjib, Katon Bagaskara, Nugie, dan sebagainya.
Bahkan jika berlangsung pertunjukan musik, seni dan budaya, yang di Jogja hampir saban hari digelar, maka para seniman dan budayawan tersebut biasanya langsung membooking beberapa gerobak angkringan untuk dijadikan menu hidangan menjamu para tamunya. Mereka bediskusi hangat dan lepas dengan menu-menu tradisional ankgringan, begitu intim.
Fenomena angkringan di Jogja tak pernah kehabisan cerita. Orang-orang selalu datang ke sana tidak sekadar untuk makan sego oseng dan minum wedang ronde. Biasanya merupakan tempat bertemu dengan teman-teman untuk menutup hari yang lelah. Semacam oase untuk memulihkan dan menetralkan hati dan jiwa yang tergerus kehidupan sepanjang hari.
Angkringan adalah tempat untuk "pulang sejenak". Saya tak sabar ingin ke Jogja lagi.
Komentar
Posting Komentar