Marwah Mahkamah Konstitusi


Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki sikap negarawan maupun integritas, hakim MK di mana saja berada, akan disapa dengan 'Yang Mulia'. 
Oleh karena itu, independensi dan kredibilitas MK harus dijaga dengan baik. Kredibilitas dan marwah lembaga MK tidak boleh tercoreng, yang diposisikan begitu tinggi dan terhormat sebagai pengawal UUD 1945. 
Hakim MK mesti sosok tenang, memiliki standar tinggi dan konsisten, menjadi panutan.
Persyaratan menjadi hakim MK sangat berat. Syarat 'negarawan' ditulis eksplisit. Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 mengatur hakim konstitusi harus memiliki integritas, dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Poin pembedanya ada pada 'negarawan'.
Hanya sembilan hakim yang benar-benar pilihan dan berstatus sebagai negarawan yang pantas mengemban amanah maha berat sebagai hakim konstitusi. Bukan apa-apa, putusan MK bersifat final dan mengikat seluruh rakyat Indonesia yang kini berjumlah lebih dari 260 juta jiwa.
Pada 2018, kita semua pernah dibuat kecewa dan marah menerima fakta berdasarkan putusan Dewan Etik MK, bahwa ketua MK Arief Hidayat terbukti melakukan nego-nego politik dengan kelompok politisi anggota DPR berkaitan dengan pemilihan kembali dirinya menjadi hakim MK dari jalur DPR. 
Sebelumnya pada 2015, Arief divonis serupa karena kasus katabelece untuk memberikan perlakuan spesial kepada kerabatnya yang bertugas di lembaga Kejaksaan. Pertanyaan mendasarnya jika seorang hakim MK telah terbukti melanggar etika--bukan sekali tapi dua kali- apakah masih pantas dikatakan negarawan?
Masyarakat semakin sadar dan paham bahwa MK saat ini tidak sama seperti awal pembentukan dan perjalanan 10 tahun pertama. Sebagai lembaga yang terbentuk hasil reformasi, ketika itu MK sangat dipercaya rakyat sebagai lembaga negara pemegang salah satu kekuasaan kehakiman yang bersih.
Belum lama rasanya skandal ketua MK Akil Muhtar ditangkap KPK karena menerima suap dari perkara sengketa pilkada. Juga menyusul Patrialis Akbar, dicokok karena mendagangkan keputusannya kepada pihak yang merasa berkepentingan terhadap pengujian Undang-undang. 
Kasus hilangnya berkas pemohonan gugatan juga pernah mencuat tapi kita tidak tahu sampai di mana penuntasan pelanggaran itu. Rentetan kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa ada persoalan etik serius di internal MK.
Bukan sekadar benar atau salah. Ini persoalan patut dan tidak patut. Jauh lebih terhormat dan berwibawa jika hakim yang disanksi etik legawa memohon maaf dan meletakkan jabatan hakim MK, daripada terus bertahan tanpa legitimasi. 
Hanya dengan cara itu, upaya membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap MK bisa dimulai lagi. Kekuatan utama dari lembaga peradilan adalah kepercayaan publik.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja