Pengalaman Menonton Panahan (Asian Games - 2)


Tanpa bermaksud menyampingkan cabang olahraga lain, panahan, tidak bisa dimungkiri, punya kenangan hebat dalam sejarah olahraga Indonesia.

Dari cabang olahraga panahan, kontingen Indonesia mendapatkan medali pertama (perak), dan mengibarkan bendera merah-putih di podium juara pada ajang Olimpiade Seoul 1988. Penantian panjang selama 36 tahun sejak keikutsertaan Indonesia di Olimpiade Helsinki 1952.

Peristiwa bersejarah tersebut bertempat di lapangan Hwarang, Seoul, pada 1 Oktober 1988, saat tiga srikandi Indonesia, yaitu Nurfitriyana Lantang, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani, di nomor beregu putri berhasil mengalahkan trio pemanah Amerika Serikat, dan memboyong medali perak ke Indonesia. Ketiganya disambut pahlawan karena telah mengharumkan Indonesia di tingkat elite dunia sebagai negara peraih medali di ajang tertinggi, Olimpiade.

Tujuh tahun usia saya saat itu, belum memahami benar prestasi luar biasa tersebut. Supaya bisa menembus ruang dan waktu merasakan atmosfer hampir tiga dekade silam, saya senang ketika Sutradara Imam Brotoseno mengangkat perjuangan momen medali perak Seoul '88, ke layar lebar yang berjudul 3-Srikandi (2016).

Dari film biopik yang menggugah jiwa nasionalisme tersebut, ternyata saya baru mengetahui ada kisah tragis sekaligus mengharukan tentang Donald Pandiangan (1945-2008), pelatih yang mengantar kesuksesan tiga pemanah putri kita.

Donald, tak diragukan lagi merupakan pemanah putra terbaik yang pernah dimiliki Indonesia, dia dijuluki Robin Hood dari Indonesia. Sebelum Seoul '88, Donald adalah atlet Indonesia yang paling terpukul saat pemerintah Indonesia memutuskan ikut memboikot Olimpiade Moskow 1980, sebagai bentuk solidaritas negara-negara muslim, karena Uni Soviet menginvasi Afghanistan beberapa saat menjelang Olimpiade.

Empat tahun sebelumnya di Olimpiade Montreal 1976, Donald bertanding namun dia gagal, dan di Moskow 1980-lah kesempatan terbaik untuk meraih medali pertama Olimpiade untuk Indonesia. Sayang, harapan itu terempas karena alasan politis.

Sangat manusiawi jika Donald murka, pergi jauh, menghilang dari panahan dan olahraga. Sampai pada saatnya dia berdamai dengan hatinya, bahwa dia masih punya harapan dan ambisi untuk mengangkat derajat bangsa Indonesia di ajang Olimpiade, dengan peran lain, sebagai pelatih. Inilah takdir si-Robin hood.

****

Dengan kisah epik Donald dan tiga dara anak asuhnya, menciptakan ikatan emosional dan menggugah rasa nasionalisme saya sebagai warga dan penggemar olahraga (panahan), maka venue Lapangan Panahan Senayan, GBK, menjadi daftar wajib disambangi ketika saya menyusun jadwal menonton Asian Games 2018. Terlebih lagi prestasi pemanah kita cukup baik, peluang meraih medali sangat besar.

Perlahan saya mulai ngefans sama Riau Ega Agatha, pemanah asal Blitar berusia 26 tahun ini adalah pemanah kelas dunia. Riau tampil mengejutkan di Olimpiade Rio 2016 saat mengalahkan pemanah nomor satu dunia asal Korea Selatan Kim Woo Jin, pada babak kedua perseorangan nomor rekurva tunggal putra. Meski langkahnya terhenti sebelum meraih medali pada debutnya di Olimpiade.

Sempat kesulitan saya mendapatkan tiket cabang olahraga panahan di babak-babak penyisihan. Sedikit tak percaya bahwa tiket telah ludes ketika saya sampai di ticket box pintu-5 GBK. Saya terlambat untuk reservasi tiket via online, memang, jadi sedikit berjudi mengharapkan mendapat tiket on the spot saat antusiasme tinggi masyarakat kita pada Asian Games. 

Justru babak final, pada Selasa pagi, 28/8/2018, saya cukup beruntung memperoleh satu tiket. Kali ini saya datang lebih awal, sebelum pukul 08.00 WIB. Semangat saya semakin tinggi karena pada hari itu mempertandingkan empat nomor final, dan salah satunya pemanah putri andalan Indonesia, Diananda Choirunisa, berduel memperebutkan medali emas dengan Zhang Xinyan, pemanah asal China, pada nomor recurve women individual. Nisa-panggilan akrabnya, lebih diunggulkan karena di perempat final sukses menumbangkan Chamg Hyejin, pemanah andalan Korea Selatan.

Dari nomor putra, saya juga menanti pertandingan medali perunggu antara Riau Egha Agatha, menantang pemanah asal Kazakhstan, Ilfat Abdullin. Rupanya kemenangan Riau atas Kim Woo Jin di Olimpiade 2016, berhasil dibalas Woo Jin di babak semifinal Asian Games ini, sehingga Riau Egha harus puas untuk perebutan medali perunggu. Banyak pengamat menilai tingkat persaingan cabang panahan Asian Games nyaris sama dengan persaingan Olimpiade.


****

Masuk ke Lapangan Panahan yang berada di seberang Stasiun TVRI, kita disambut banner yang menginfokan prestasi yang telah dicapai cabang panahan Indonesia sejak mengikuti Asian Games. Senang saya, karena tidak menemukan spanduk demikian di venue-venue lain untuk memberikan pengetahuan pada penonton perihal sejarah olah raga tersebut di ajang Asian Games.

Sama halnya Olimpiade, medali tertinggi panahan Indonesia di Asian Games adalah medali perak, yakni beregu putra (Tatang Ferry, Donald Pandiangan, dan Suradi Rukimin) di Asian Games India 1982; dan medali perak nomor Beregu Putri (Purnama Pandiangan, Rosane Gelante, dan Dahlia) Asian Games Hiroshima 1994. Dengan demikian harapan emas pertama dalam sejarah cabang panahan ada pada pundak Nisa di hari tersebut.

Tribun penuh menampung sekitar 2.000 orang yang mayoritas suporter Indonesia dan Korea Selatan. Ribuan pendukung Indonesia berharap menjadi saksi sejarah untuk medali emas pertama. Tak pernah lelah memberikan dukungan pada Nisa, dengan yel-yel dan nyanyian pemantik semangat.

Final Nisa melawan Xyian tertunda sekitar 10 menit karena sempat diumumkan Presiden Jokowi-yang menggemari panahan, akan hadir langsung menyaksikan dan memberikan dukungan pada Nisa dan Riau. 

Menonton cabang panahan kelas dunia seperti pemanah Nisa dan Riau Egha, ternyata sangat seru dan menegangkan. Senang melihat ketenangan Nisa dan Riau Egha tetap fokus, dan berkonsentrasi penuh di tengah sorak-sorai pendukung. Apalagi jika lesatan anak panah Nisa dan Riau tepat di lingkaran sasaran bernilai-10. Kita semua berdiri serempak sambil berteriak kegirangan.

Dulu saya menilai, panahan merupakan olahraga paling mudah dilakukan. Hanya berdiri di satu titik, dan melepaskan anak panah ke target, tak perlu berlari bersimbah keringat, gampang sekali. Padahal olah raga ini menuntut memiliki fisik dan stamina prima. Butuh tenaga ekstra, konsentrasi, serta konsistensi, untuk mengendalikan Busur Panah, yang beratnya sekitar 4 kilo gram, dan kuat bertanding di bawah terik matahari menyengat kulit.

****

Seperti hasil yang sudah didapat, Nisa pada akhirnya kalah dengan skor 3-7 dalam 5 set dimana masing-masing melesatkan 15 anak panah. Nisa harus puas meraih medali perak. Emas impian belum bisa diraih. Kekalahan Nisa sedikit terobati dan terpuaskan dengan kemenangan Riau Egha untuk medali perunggu.

Ketika hendak meninggalkan venue, Nisa dan Riau tengah menyapa kerumunan suporternya, membubuhkan tanda tangan dan foto bersama di dekat pintu keluar. Saya pun tak ingin melewatkan momen berfoto selfi dengan Riau Egha. Setelah jepret-klik, saya kemudian menyampaikan pesan dukungan pada Riau Egha, semoga perunggu hari ini, menjadi momentum meraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020 (1).

Sungguh berat, memang, tapi hasil dan prestasi tak pernah menghianati proses. Jayalah olah raga Indonesia.

Salam.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja