Barcelona 2020, Akhir Sebuah Era


Bagi orang Catalan, Barcelona sudah seperti gereja. Klub di pesisir laut ini menjadi tempat warga Catalan mengekspresikan kebebasan dan kebanggaan yang mereka nilai dirampas Pemerintah Spanyol.

****

Sekitar 12 tahun lalu, Barcelona memasuki era baru di bawah manajer muda, Joseph 'Pep" Guardiola. Pep baru berusia 37, menggantikan manajer dari Belanda Frank Rijkaard, yang dua tahun sebelumnya sukses membawa El-Blaugrana memenangkan Liga Champions 2006, trofi Eropa kedua klub Catalan.

Pep merombak skuad Barca, salah satunya menyingkirkan bintang idola Camp Nou, Ronaldinho Gaucho. Pep, merupakan anak ideologis mendiang Johan Cruyff, ia mendesain ulang filosofi total voetball yang kemudian kita kenal dengan nama tiki-taka, dengan mengandalkan barisan pemain akademik La Masia, yakni Gerrard Pique, Xavi Hernandez, Andreas Iniesta, Sergio Busquet, dan Lionel Messi, protagonis utama pengganti Dinho.

Barca pun menjelma tim superior, selalu tampil memukau dan menyihir publik sepak bola dengan permainan menghibur dengan penguasaan bola dominan yang memikat. Mereka sungguh menakutkan karena konsisten mengancam sepanjang 90 menit. 

Pada akhir musim itu, tercipta momen hebat. Barcelona asuhan Pep Guardiola meraih treble winner dengan penuh gaya. Pep pun menjadi manajer termuda yang memenangkan Liga Champions, dalam usia belum genap 38. Tahun tersebut juga Lionel Messi mulai menaklukkan sepak bola dunia, dengan memenangkan Ballon d'Or pertamanya.

Pep menciptakan standar baru sepak bola Eropa dan dunia secara keseluruhan. Barcelona memasuki periode baru yang benar-benar cemerlang.

Empat musim Pep menukangi Barcelona, dengan tiga gelar La-Liga dan dua trofi Liga Champions (2009 dan 2011). Sebenarnya nyaris memenangkan empat gelar Liga Champions beruntun. Sayang dua kali mereka tersingkir karena faktor 'keberuntungan kecil' di semifinal pada 2010 oleh Inter Milan, dan pada 2012 oleh Chelsea. Mereka menguasai pertandingan dengan banyak peluang namun tetap tersingkir. Begitulah kejamnya Liga Champions, yang kadang ditentukan dari satu hari buruk.

Puncak kejayaan Barcelona saat mereka memenangkan Liga Champions 2011. Bagi saya cara Barcelona menjuarai trofi "Big Ear" keempat paling sensasional. Semua kemenangan musim itu diraih dengan sangat meyakinkan, termasuk keunggulan telak atas Real Madrid di semifinal yang ditandai dengan gol spektakuler solo-run Lionel Messi ke gawang Iker Cassilas. Fantastis.

Pada laga final melawan Manchester United di Stadion Wembley -ulangan final Roma 2009, adalah pertunjukan mahakarya skuad Pep. Mereka mendominasi, mendikte, dan menang dengan berkelas tanpa sedikit pun keraguan, skor 3-1. Prestasi Pep ini menurut saya bahkan lebih spektakuler dibanding dengan masterpiece Louis Van Gaal saat mengantar Ajax juara Liga Champions 1995.

Sir Alex Ferguson, manager terbesar Liga Inggris dalam bukunya Alex Ferguson My Autobiography, menulis khusus satu bab, Kecil Itu Indah. Fergie mengakui bahwa skuad Barcelona 2009-2011 adalah tim terbaik yang pernah menghadapi tim Manchester United yang ia arsiteki. Barcelona selalu membawa mentalitas yang tepat. Fergie mengatakan bahwa ia sudah mempersiapkan segalanya untuk final Liga Champions 2011, tapi ternyata harus mengakui kehebatan Xavi, Iniesta, Messi, Cs. Tim itu menurut Fergie berada di puncak kemampuan dan sudah sangat matang.

Saat ditinggal Pep pada 2012, Barcelona 'masih' menjadi tim kuat yang mampu bersaing di tingkat atas Eropa, mereka tak pernah gagal ke delapan besar, bahkan kembali memenangkan treble pada 2015 saat diarsiteki Luis Enrique, kolega Pep.

Namun semuanya memburuk setelah kejayaan di Berlin 2015 itu. Xavi mundur dari tim, yang perlahan-lahan memperlemah walaupun tidak terlalu kentara. Dari sini ketergantungan terhadap Messi semakin meningkat sejak Xavi hengkang pada 2015, dan disusul Iniesta pergi pada 2018.

Meskipun masih dapat memenangkan gelar La-Liga beberapa kali, cara mereka tersingkir di Liga Champions sangat memalukan dan menjadi olok-olokan. Pada 2017 takluk 0-3 dari Juventus di Turin. Pada perempat final 2018, disingkirkan AS Roma, 0-3, setelah di leg-1 menang 4-1. Aib itu kembali terjadi pada musim lalu di Anfield di laga leg-2 semifinal. Messi cs dihantam balik Liverpool, 0-4, padahal sudah unggul 3-0 di leg-1.

Tiga musim bencana menunjukkan ada masalah identitas dan budaya sepak bola Barcelona sejak ditinggal Pep, Enrique, Xavi, dan Iniesta. Karena tak terlalu terang benderang menurut mereka, masalah ini senantiasa ditolak oleh manajemen klub untuk berbenah.

****

Saya termasuk tidak gemar menuliskan satu catatan sepak bola ketika hasil pertandingan sudah kita ketahui. Namun pertandingan perempat final Liga Champions 2020 antara Bayern Munchen melawan FC Barcelona adalah sebuah pertandingan yang akan dikenang sangat kuat dan menancap lama.

Bayern Munchen melibas Barcelona dengan skor mencengangkan, 8-2. Kekalahan terburuk dalam sejarah klub sebesar Barcelona di kompetisi Eropa sekaligus skor terbesar fase knock out kompetisi Liga Champions sepanjang sejarah. Jelas penghinaan sangat besar yang begitu menyakitkan.

Barcelona mempermalukan dirinya sendiri, tidak memiliki apa-apa untuk melawan kekuatan tim Jerman itu. Pada Jumat malam 14 Agustus 2020 di Lisbon itu adalah pertunjukan kekuatan Bayern Munchen dalam pertandingan Liga Champions yang tak terlupakan. Bayern dengan total footbalnya tanpa belas kasihan menghujam delapan gol dari 21 tembakan di dalam kotak penalti.

Kekalahan 2-8 menunjukkan dengan jelas bahwa sepak bola Barcelona sudah basi, jiwa mereka telah hilang. Lebih daripada sekadar kekalahan. Siapapun yang menonton Barcelona di bawah manajer Quitien Setien sejak awal tahun, penampilan Barca hampir tidak ada visi, pola, dan identitas yang jelas. Kemenangan hanya dapat diraih dari tim papan tengah dengan cara kuno, mengandalkan Messi seorang.

Barcelona dinilai terlalu percaya diri dan terjebak loyalitas buta pada Messi. Ini Liga Champions, menuntut tim pemenang yang paling terorganisasi, disiplin, dan punya mental dan semangat baja. Bukan tim yang menampilkan ambisi pribadi. Barca pun demikian, tidak bisa lagi mendapatkan hasil maksimal dari superstar. Tidak lagi berlaku Barcelona adalah Messi, dan Messi adalah Barcelona. Itu tak lagi cukup. 

Lima tahun berlalu begitu buruk dan semakin memburuk. Barca sudah menyia-nyiakan tahun-tahun terbaik Messi. Sampai bencana terbesar dalam sejarah klub di Lisbon terjadi, baru membuka mata dan hati, baru menyadari dan menerima bahwa mereka harus lebih rendah hati dan mau belajar banyak hal lagi.

Ini akhir dari sebuah era yang dibangun Pep dan pasukannya 12 tahun silam. Barcelona harus merevolusi timnya sembari terus percaya pada talenta-talenta yang mereka punya.

El Barca harus merevolusi skuad untuk menatap era baru lagi. Jangan lagi mengkultuskan Messi. Mitos Messi harus hilang. Sepak bola modern dewasa ini tidak cukup mengandalkan talenta, teknik, tapi juga keandalan manajemen organisasi solid, yang hilang dari Barcelona lima tahun terkahir.

Tim besar adalah tim yang bisa bangkit dari keterpurukan.

 

 

 



 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja