Kisah Keluarga Menyembuhkan Luka Lama


Angga Dwimas Sasongko adalah sutradara Indonesia yang saya ikuti filmnya.

Hari untuk Amanda (2010)) berkisah cinta segitiga yang tak klise. Cahaya dari Timur Beta Maluku (2014) mengangkat konflik berdarah antar agama di Ambon yang dikemas lewat sepak bola. Film yang mengantarkan Angga sebagai sutradara FFI terbaik pada 2015. Saya juga terkesan film Surat dari Prahara (2016), memoar para eksil mantan mahasiswa yang tak bisa pulang ke Indonesia sejak rezim Soeharto berkuasa. 

Menurut saya, Angga sangat piawai menciptakan, mengembangkan, dan mengeksekusi konflik dengan baik. Ia tak mau menghindari konflik yang selama ini menjadi ciri film-film Indonesia, lemah dalam mengelola konflik.

Demikian pula karya terakhir Angga, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTI). Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Marcella FP. Angga menggandeng Jenny Jusuf dan Mellarisa Syarif sebagai penulis naskah.

NKCTHI berkisah konflik satu keluarga. Kali ini Angga mencoba meramu konflik lebih dekat dengan kita, lebih emosional dengan seluruh masyarakat kita. Kita paham tiap keluarga memiliki masalahnya masing-masing yang akan menentukan bagaimana satu keluarga inti tersebut tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat dan dunia luar yang serba kompleks.

Kepala keluarga itu bernama Narendra. Istrinya Ajeng, dan punya tiga anak: Angkasa, Aurora, dan Awan. Perjalanan keluarga Narendra diceritakan dengan format flashback, mulai tahun 1998 sampai 2019.

Ada tiga latar waktu dan tiga pemeran untuk karakter ketiga anak: Angkasa, Aurora, dan Awan. Sedangkan orangtuanya ada dua pemeran, Narendra muda diperankan oleh Oka Antara dan Narendra tua oleh Donny Damara. Sedangkan Ajeng muda dimainkan Niken Anjani dan Ajeng tua oleh Susan Bachtiar.

NKCTHI adalah film keluarga yang utuh dan bertutur sewajarnya, tak ada karakter dominan dalam keluarga ini, meskipun narator dibawakan Awan, yang diperankan oleh Rachel Amanda. Semua tokoh memberikan latar dan konflik.

Film ini bisa dikatakan tentang cara satu keluarga menyembuhkan luka lama yang tak mau diselesaikan. Luka yang membesar karena disimpan selama 21 tahun oleh orangtua terhadap anak-anaknya.

Narendra ayah yang sangat posesif, terutama pada Awan. Ajeng, istri dan ibu yang senantiasa bijaksana sepahit apa pun ia menyembunyikan sesuatu. Mengingatkan saya pada karakter Emak dalam Keluarga Cemara. Ketiga anak mereka tumbuh dewasa, sekolah mereka lancar-lancar saja sampai pendidikan tinggi dan diceritakan sukses pada bidangnya masing.

Angkasa (Rio Dewanto) menjadi penyelenggara konser musik yang cukup sukses. Anak kedua, Aurora (Sheila Dara), digambarkan sebagaimana biasa anak tengah yang ‘merasa’ kurang mendapat perhatian dari orangtua, merupakan seniman instalasi, padahal waktu kecil ia atlet renang. Sedangkan Awan adalah sarjana arsitek fresh yang bekerja di biro arsitek top.

Semua bidang profesi Angkasa, Aurora, dan Awan disetting intens oleh Angga, tidak hanya sekadar tempelan cerita. Terlihat dengan properti-properti yang sangat detail. Kita diberi wawasan soal bagaimana menyelenggarakan pameran tunggal seni instalasi; mengurus konser musik yang ribet tapi asik; atau cara kerja kantor arsitek Awan memuaskan klien yang banyak maunya.

Selain anggota keluarga Narendra, karakter sangat kuat adalah Kale, yang dimainkan oleh Ardito Pramono. Saya senang dan terinspirasi dengan karakter Kale. Ia anak muda sukses, asik, cerdas, punya pikiran positif dan terbuka. Rasanya tipe Kale akan menjadi standar baru bagi anak gadis yang mencari pacar.

Setiap adegan yang dimainkan Kale bersama Awan, seperti menumpang metro mini, berburu kuliner jalanan, termasuk obrolan intim di tengah riuh konser, diciptakan Angga dengan sangat cantik. Dialog-dialognya asik dan seru, sangat khas gaya Angga di film-film sebelumnya. Sebagai contoh, adegan saat Angkasa mendapati Kale dan Awan mengobrol asik selepas konser, Angkasa bercanda sambil berjalan pergi, “Hati-hati, Wan!! anak band ga ada yang bener…” 

Dengan mengandalkan riset, objek bagus, dan persiapan matang, menjadikan film ini kuat dengan cara bertutur yang lancar dan tetap fokus pada konflik keluarga. Luka batin manusia tak harus disampaikan secara lebay, nestapa dan penderitaan. Angga paham betul bagaimana mengeksekusi naskah panjang menjadi scene-scene yang menyentuh.

Saya tak ragu bahwa film terbaik Angga sejauh ini.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja