Bersantai di Tanjung Bira


Pariwisata merupakan "pergerakan manusia".  Ia berupa perjalanan untuk mencari sesuatu yang belum diketahui, menjelajahi wilayah baru, mencari perubahan suasana atau untuk mendapat perjalanan baru.

Kegiatan pariwisata yang pada awalnya adalah bentuk kesenangan belaka, kini periwisata berkembang dinamis dengan berbagai variasi. Ada pariwisata alam, pariwisata budaya, pariwisata rohani, dan sebagainya. Pariwisata menjadi solusi batin bagi pemulihan fisik maupun jiwa seseorang yang telah tergerus oleh rutinitas agar bisa kembali pada kondisi segar, relax dan produktif.

Pada kesempatan ini saya ingin menulis pengalaman melakukan perjalanan wisata destinasi lokal: Wisata Bahari Pulau Tanjung Bira.

Pantai Tanjung Bira hanyalah sepotong surga yang tercipta di Indonesia. Bukan hanya isapan jempol atau romantisme masa lalu, Indonesia ditunjang oleh pesona alam yang indah, rakyat yang hangat dan bersahabat, serta kebudayaan yang mengagumkan dari ujung barat hingga ujung timur.

Pantai yang terletak di Kabupaten Bulukumba, 175 KM selatan kota Makassar ini, sebenarnya memiliki potensi wisata yang sangat memikat. Pasir putih menghampar di sepanjang tepian pantainya. Air lautnya sangat jernih, terik matahari yang mengecup tubuh, dan senja pantainya syahdu. Sebenarnya, lokasi yang pas sekali bagi kalian yang ingin berbulan madu menikmati indahnya pantai di kaki pulau Sulawesi itu.

***

Sayangnya potensi Pantai Tanjung Bira belum digarap serius, tak terurus dengan baik. Tanjung Bira memang berpasir putih, tetapi lumayan kotor. Masih terlihat beberapa kumpulan sampah dan sisa-sisa pembakaran kayu semacam pernah dipakai, dibiarkan berserakan. Kemudian beberapa hewan ternak liar, juga tak jarang mengganggu kenyamanan para pelancong. Pada malam hari, penerangan kawasan sangat minim. Semuanya merusak keindahan alam yang Tuhan telah ciptakan untuk Bulukumba dan Sulsel.

Sejak lama bukan menjadi prioritas. Seolah-olah Pemerintah tak berdaya. Selama ini khususnya pariwisata di Sulawesi-Selatan, yang dijual hanyalah Toraja dan Toraja, -atau paling tidak bergeser sedikit dari kota Makassar ke Kawasan Bantimurung, sebuah Taman Nasional yang di juluki “Kerajaan kupu-kupu”. Menurut pandangan saya, Tana Toraja dan Bantimurung tak perlu lagi “dijual”.

Kelemahan utama yang sangat nampak pada permukaan ada pada sektor Infrastruktur jalan dan transportasi. Akses ke Pulau Tanjung Bira tak bisa dikatakan mudah, butuh enam jam perjalanan darat kita bakal banyak menemui jalan raya yang bolong-bolong, dan lalu lintas yang kacau. Sarana transportasi umum pun sangat terbatas. Kita mesti berangkat dari terminal Malengkeri yang sangat jorok, dengan Bis yang sudah lapuk dengan tarif sekitar Rp. 85.000,-. Ongkos yang sangat tinggi.

Kebutuhan air bersih di kawasan Bira juga masih buruk, dan persoalan ini sangat dikeluhkan para wisatawan. Meski sudah banyak penginapan atau hotel di Bira, namun fasilitasnya belum cukup memadai yang membuat sebagian wisatawan enggan balik ke Pantai Tanjung Bira.

Jika ingin sektor pariwisata berkembang, selain ditunjang promosi, juga harus memperhatikan infrastruktur dan tetap menjaga kelestarian budaya. Dengan wisata, daerah bisa mendapatkan penghasilan sekaligus memelihara alam lingkungannya.

Fakta yang seiring dengan data yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa pada 2019 hanya ada 9 juta turis asing mampir ke Indonesia. Jauh tertinggal dengan negara tetangga, Malaysia, yang didatangi 25 juta pelancong. Apalagi membandingkan dengan Inggris Perancis yang menarik 80-an juta orang dari penjuru bumi.

Tentu ada persoalan besar yang mesti kita benahi. Bersama Kemenparekraf mari menciptakan program-program pariwisata lebih menarik sekaligus melestarikan aset pariwisata negeri kita berdasar nilai kearifan lokal.

Mampirlah ke Bira, menikmati indahnya pantai pasir putih.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja