Ujian Promosi Doktor: Leniency Program untuk Pembuktian Kartel


Pada Rabu 28 Agustus 2019 silam, saya menempuh ujian terbuka untuk memperoleh gelar doktor dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.

Puji dan rasa syukur kami panjatkan kehadirat Allah, SWT atas berkah dan hidayah-Nya, karena di tengah kehadiran dukungan keluarga dan rekan-rekan, saya dapat mempertahankan disertasi yang berjudul Leniency Program untuk Pembuktian Kartel dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha di hadapan dewan penguji dan tim pembimbing.

Sidang ujian terbuka promosi dipimpin Prof. Dr. Hamzah Halim, SH., MH. Tim promotor disertasi adalah Prof. Dr. Ahmadi Miru SH, MH; Prof. Dr. Anwar Borahima, SH., MH; dan Dr. Winner Sitorus SH., MH., L. LM.

Sedangkan majelis tim penguji terdiri: Prof. Dr. Hj. Badriyah Rifai, SH; Dr. Nurfaidah Said, SH., MH., M. Si; Dr. Oky Deviany, SH, MH; Dr. Hasbir, SH., MH; dan termasuk penguji eksternal, Prof. Dr. L. Budi Kagramanto, SH., MH., MM, Guru Besar Universitas Airlangga, Surabaya.


****

Kartel beroperasi untuk mencapai keuntungan yang lebih besar dan dengan sedikit usaha, yang dapat mengakibatkan kerugian bagi konsumen, dan ekonomi secara umum.

Kartel yang beroperasi di hampir semua sektor strategis menyebabkan inefisiensi ekonomi nasional. Kartel telah menghilangkan prinsip persaingan sehat, menutup kesempatan pelaku usaha yang mengedepankan etika bisnis. Kartel merupakan kejahatan ekonomi luar biasa yang merusak perekonomian negara. Di beberapa negara, kartel dipandang sebagai suatu tindak pidana, bahkan diklasifikasikan extra ordinary crime

Selama ini pembuktian kartel dalam sistem hukum persaingan Indonesia masih berdasarkan pada bukti tidak langsung (indirect evidence) berupa bukti petunjuk analisis ekonomi (struktural perilaku) dan komunikasi. Namun, di Indonesia sendiri aturan mengenai indirect evidence ini masih belum jelas, sehingga seringkali hakim Pengadilan Negeri dan hakim Mahkamah Agung yang memeriksa tahap keberatan membatalkan putusan bersalah dari KPPU.

Sulitnya pembuktian perkara kartel, terutama di Indonesia diyakini karena para pelaku usaha berada dalam struktur pasar oligopoli dan berkolusi secara rahasia. Merujuk jumlah perkara kartel yang telah diputus oleh KPPU, dapat dikatakan tidak signifikan selama rentang waktu 18 tahun sejak KPPU berdiri.

Karakteristik kartel yang paling kuat adalah sifat kerahasiaan perjanjiannya, sehingga KPPU sebagai otoritas persaingan usaha, sangat kesulitan untuk membuktikan. Kartel dalam UU. No. 5 tahun 1999 dirumuskan dengan metode rule of reason, harus dilakukan pemeriksaan secara mendalam tentang alasan-alasan mengapa para pelaku usaha melakukan kartel.


Leniency Program          

Sehubungan dengan kesulitan mengungkap praktik kartel, otoritas persaingan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa telah menerapkan leniency program dalam yurisdiksi masing-masing untuk mendeteksi dan mengungkap perkara kartel, dan juga bertujuan untuk mendapatkan informasi awal mengenai terbentuknya kartel.

Leniency program adalah kekebalan hukum atau keringanan hukum yang dapat diterima oleh perorangan, karyawan perusahaan, maupun perusahaan yang pertama memberikan informasi terkait dengan praktik kartel.

Ketentuan leniency program hampir sama dengan konsep justice collaborator dalam hukum pidana korupsi, di mana pelaku justice collaborator mengakui kesalahan dan bersedia memberikan keterangan sebagai saksi. Sebagai kompensasi yang bersangkutan mendapatkan pembebasan dan atau pengurangan hukuman dari perkara kartel tersebut. Dalam pelaksanaannya, leniency program itu terbukti suskes dan memuaskan. 

Leniency program menjadi isu menarik dan menjadi perhatian global, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, sejak 2015, Indonesia telah mengajukan leniency program dalam Rancangan Undang-undang (RUU) amandemen UU. No. 5 tahun 1999, dan telah terdaftar dalam program legislasi nasional sejak 2017. Pasal 71 ayat (1) RUU Persaingan Usaha mengatur penerapkan leniency program sebagai bagian hukum persaingan usaha.

Pengajuan leniency program dalam RUU persaingan usaha juga untuk menghindari inkonsistensi penerapan bukti tidak langsung sebagai alat bukti, dan bertujuan untuk mendapatkan bukti langsung dalam perkara kartel.

Terdapat sekurangnya tiga tujuan utama yang hendak dicapai otoritas persaingan usaha melalui penerapan leniency program, sebagai berikut: kesatu, untuk mendorong pelaku kartel melaporkan pelanggarannya kepada otoritas persaingan usaha; kedua, dalam jangka panjang, pengaturan leniency program diharapkan dapat memberikan efek pencegahan yang menghalangi terbentuknya kartel; ketiga, untuk mendapatkan lebih banyak informasi (bukti-bukti) mengenai keberadaan kartel dan karenanya dapat mengurangi biaya penegakan hukum dan penuntutan.


Fungsi leniency program secara signifikan telah membantu keberhasilan penegakan hukum kartel dengan menyediakan kepada otoritas persaingan usaha. Leniency program bekerja dengan prinsip bahwa pelaku usaha yang melanggar hukum mungkin saja melaporkan kejahatan mereka jika diberikan insentif yang pantas. 

Ketika keadilan prosedural tinggi, seseorang akan cenderung lebih besar bertindak sebagai whistle blowing atau leniency program atas tindakan kecurangan yang diketahuinya dibanding individu yang berada di kondisi keadilan prosedural rendah.

Tujuan penuntutan praktik kartel tidak hanya untuk mengungkap, menghentikan, dan memberikan sanksi kepada pelaku usaha praktik kartel. Tujuan utama adalah untuk melakukan pencegahan praktik kartel sebanyak mungkin. 

Leniency program juga memiliki daya efek jera yang kuat. Kepercayaan antara sesama anggota kartel akan melemah. Anggota kartel harus selalu berharap bahwa salah satu dari mereka tidak melaporkan atau mengajukan permohonan leniency program kepada otoritas persaingan usaha. Akibatnya stabilitas perjanjian kartel melemah secara efektif, dan dapat diasumsikan bahwa dalam banyak kasus praktik kartel bahkan tidak akan terwujud.

Penerapan leniency program dapat diterapkan dalam hukum persaingan usaha di Indonesia dengan persyaratan dan penyesuaian yang tepat melalui pengaturan secara rinci dalam amandemen UU. No. 5  tahun 1999. Penerapan leniency program sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi dan menindak kartel yang selama ini sangat sulit dibuktikan karena sifat kartel yang rahasia dan tertutup.

Semoga ke depan, alih-alih membuat kartel, pelaku usaha lebih baik bersaing secara sehat. Pada akhirnya masyarakat konsumenlah yang mendapatkan manfaat persaingan usaha yang sehat.



 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja