Sepanjang Usia bersama Sepeda
Masa pandemi korona, membuat tren bersepeda meledak lagi. Jalan-jalan penuh orang menggowes sepeda kesayangannya. Catatan ini tentang pengalaman pribadi dengan sepeda.
Saat kanak-kanak usia lima atau enam tahun, pertama kali belajar mengendarai sepeda, walaupun melalui tahapan bersepeda roda samping lebih dahulu. Saya masih ingat dengan baik sekitar 30 tahun lalu, ketika ayah membawa saya ke toko sepeda yang berderetan di jalan Kalimantan, kawasan pusat penjualan sepeda di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Rasanya segala jenis sepeda ada di sana. Mulai sepeda balita, sepeda anak, sepeda BMX, sepeda jalan raya, sepeda gunung, dan sebagainya. Ayah memberikan kebebasan untuk memilih sepeda dan warna apa yang saya suka. Sampai kemudian pilihan saya jatuh ke sepeda BMX warna merah darah, lalu memboyongnya pulang ke rumah. Beberapa tahun kemudian saat sekolah SMP, ayah membelikan sepeda gunung merk Mustang, yang populer pada awal dekade 1990-an.
Sepeda yang dibelikan ayah menjadi barang terbaik dan termahal yang saya punya saat itu. Saat SMP, saya ingin bersepeda ke sekolah yang jaraknya 7 kilo meter, namun ayah tidak mengizinkan karena faktor keselamatan. Saya pun jadi iri melihat teman-teman yang ke sekolah menunggang sepeda waktu itu.
Tapi ayah membolehkan saya bersepeda saat pergi kursus. Ada pengalaman tak terlupakan momen ini. Di tempat kursus sepeda saya ‘hilang’ dari parkiran. Saya kaget, bingung dan tak berpikir jernih, sampai tidak sempat menanyakan pada penjaga keamanan.
Saya mengetahui pencurian sepeda di tempat kursus adalah hal yang biasa terjadi. Saya justru mencarinya di kawasan penjualan sepeda bekas di persimpangan jalan Cenderawasih-Kakak Tua, sekitar Stadion Mattoanging. Dulu kawasan itu dikenal banyak transaksi penjualan sepeda hasil curian. Hasilnya: nihil. Tak ada jejak sepeda saya di sana.
Dua hingga tiga bulan berlalu tanpa sepeda. Rupanya sepeda saya tidak dicuri. Pihak security tempat kursus hanya memindahkan sepeda itu ke tempat lebih aman dari pengawasan karena ia melihat sepeda saya tidak terkunci. Kehilangan sepeda yang merupakan barang terbaik adalah mengecewakan, namun menemukan kembali barang yang sudah kita anggap hilang itu rasa senangnya dobel. Luar biasa.
Sampai pada akhirnya beberapa tahun kemudian 'sepeda ajaib' itu benar-benar hilang di halaman rumah digondol maling. Belakangan saya diberitahu siapa pelaku yang mencuri sepeda saya. Ia adalah orang yang saya kenal, tinggal satu kompleks, tapi ia memang berprofesi demikian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada Juli 1997, saya pergi merantau ke Jogja melanjutkan sekolah SMA. Bayangan pertama saya, Jogja adalah kota sepeda dan sekolah baru saya di SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta akan dipenuhi sepeda. Namun ternyata identitas Jogja sebagai kota pelajar bersepeda sudah nyaris hilang, teman-teman sekolah hampir semua menggunakan motor. Bisa dihitung jari siswa bersepeda ke sekolah.
Sepuluh tahun saya di Jogja, saya pun meninggalkan sepeda sebagai alat transportasi beralih ke motor (keputusan yang saya sesali kemudian hari). Namun tahun terakhir saya di Jogja pada 2007, saat menyusun tesis di Magister Hukum UGM, saya memutuskan menjual motor dan membeli sepeda, kembali mengayuh. Terlambat tapi daripada tidak sama sekali.
Terlebih waktu itu di kampus UGM Bulaksumur mulai lagi menggalakkan kampanye bersepeda. Kampus UGM menyediakan ratusan sepeda di sudut-sudut kampus untuk digunakan free. Lengkap dengan fasilitas jalur-jalur khusus sepeda. Sungguh nikmat gowes di udara segar kompleks Bulaksumur dan sekitarnya. Dengan moda sepeda saya merasa lebih leluasa menemui dosen pembimbing untuk konsultasi tesis.
Kendaraan bermotor aksesnya dibatasi di kampus, disediakan parkir khusus untuk motor dan mobil. Bahkan saya sering menyaksikan Rektor UGM saat itu, Prof. Sudjarwadi, harus memarkir mobil dinasnya di area Grha Sabha Pramana dan kemudian berjalan kaki menuju Kantor Pusat UGM yang teduh dan rindang, bebas dari polusi kendaraan bermotor. Fenomena baru demi lingkungan yang lebih baik dan cara hidup sehat.
****
Saat pulang kampung ke Makassar pada 2008, kendaraan pertama yang saya beli adalah sepeda merk Polygon, harganya 2,4 juta rupiah, yang saya cicil selama 12 bulan setelah mendapat gaji pertama sebagai orang kantoran.
Waktu itu kegiatan fun bike lagi marak, namun tak berlanjut lama karena fun bike membosankan dan tak seru. Saya kemudian diajak om yang berprofesi sebagai dokter, untuk bergabung dengan komunitas sepedanya.
Komunitas sepeda para dokter ini luar biasa, mereka selalu mencari, dan menempuh jalur-jalur yang menarik di Makassar dan sekitarnya. Semakin sempit jalanan semakin senang kami. Bahkan dulu sempat naik sampan untuk menyeberangi sungai Jeneberang, kemudian lanjut mengayuh lagi. Pengalaman saya paling jauh saat berhasil menggowes sampai ke bendungan Bili-bili di Gowa yang berjarak 30 kilo meter dengan banyak jalur tanjakan. Rasanya puas bisa finish di sana kemudian manyantap ikan nila goreng yang luar biasa gurih dengan gaya lesehan.
****
Bagi saya, sepeda adalah salah satu barang istimewa sepanjang peradaban manusia, tak bakal ketinggalan zaman sampai kapan pun. Komponen-komponen fisik, mulai batang inti, ban, sadel, pedal, dan gir, dirangkai menjadi satu unit sepeda sebagai alat transportasi yang simpel, dinamis, sportif, elegan, dan ramah lingkungan.
Sejauh ini saya bersepeda untuk mengisi waktu luang. Bersepeda sesuai kebutuhan, untuk menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas terlebih saat masa pandemi.
Tak terasa sepeda saya sudah 12 tahun, dan belum berniat menggantinya meskipun banyak bermunculan jenis-jenis sepeda baru yang lagi tren. Paling penting sehatnya, kayuhannya, bukan sepedanya.
Salam gowes.
Komentar
Posting Komentar