Merayakan Perbedaan


Saya belum lupa nasihat guru saya. Sambil memegang kepala, Sang Guru mengatakan, “Otak manusia jika dikeluarkan dari kepala ini kemudian diuraikan, maka dapat menutupi seluruh luas permukaan lapangan Karebosi.’ Lapangan Karebosi yang dimaksud adalah alun-alun kota Makassar. Terbayang luasnya.

Analoginya sangat cerdas menurut saya. Maknanya sungguh dalam. Hal itu menjelaskan bagaimana isi kepala kita dapat menyimpan banyak hal, melebihi sekadar program-program software di komputer, yang menyimpan data-data pribadi di folder kita masing-masing.

Pernyataan Sang Guru juga menyiratkan satu hal penting: bahwa apa yang ada di benak kita semua, pastilah tak akan pernah bisa sama. Perbedaan pendapat akan kita alami sepanjang waktu, selama kita masih melakukan interaksi dengan manusia lain sebagai makhluk sosial.

Tak bisa dihindari hal demikian, kita hanya bisa mengelola perbedaan pendapat tersebut menjadi kekuatan yang menyenangkan. Jangan sampai justru perbedaan pendapat menjadi pemicu perselisihan, bahkan perpecahan.

Saya akan mencontohkan pengalaman saya berbeda pendapat dari hal kecil-kecil saja. Pertama dari rumah, bersama istri tentu. Saya sering tak setuju pada istri manakala dia ingin membeli barang-barang kebutuhannya seperti sepatu, tas, baju, dan sebagainya. Padahal barang-barang tersebut sudah dia beli belum lama. Saya lalu menjelaskan, bahwa tas dan sepatunya yang “lama” masih bagus dan berfungsi baik. Saya membandingkan dengan tas dan sepatu saya, yang sudah berusia tiga tahun dan belum ada niat menggantinya dengan yang baru.

Nah, seiring dengan perjalanan waktu bersama, saya belajar melihat perbedaan masalah kebutuhan seperti ini. Bahwa saya dan istri jelas tidak pernah bertemu dalam satu titik. Istri saya sama dengan kebanyakan perempuan, yang memandang barang-barang tersebut bukan hanya dinilai dari sisi fungsional saja. Namun pakaian, tas, dan sepatu bagi kaum perempuan adalah suatu kebutuhan “wajib”, sebagai aktualisasi diri bersama komunitasnya. Sepanjang tidak berlebihan, saya mesti pengertian. Ini masalah hubungan antar jender yang sangat fundamental yang bisa menimpa semua pasangan suami istri.

Saya juga punya pengalaman berdebat serius dengan seorang teman dekat, perihal bedanya pendapat kami mengenai keikhlasan seseorang dalam membantu sesama. Kata teman tersebut, “Bila kita ingin menyumbang atau mendonasikan sebagian harta untuk menolong, hati kita harus ikhlas sehingga amal ibadah kita diterima oleh Allah Swt, kalau tidak ikhlas maka akan sia-sia, karena jatuhnya pada hati yang Riya, lebih baik tidak usah menyumbang.”

Saya tidak setuju dengan kalimat terakhirnya, bahwa bila tidak ikhlas lebih baik tidak usah menyumbang. Bagi saya akan tetap lebih baik menyumbang biarpun hati belum ikhlas, daripada tidak menyumbang sama sekali. Saya hanya berpikir sederhana: apa yang kita dan orang lain berikan (meski belum ikhlas) akan tetap punya manfaat bagi orang yang memang membutuhkannya. Kalau kita menunggu sampai ikhlas, bisa saja tidak pernah akan ikhlas, dan orang yang membutuhkan bantuan materi tersebut keburu tidak tertolong.

Jadi hemat saya, biarlah orang lain yang menyumbang itu mungkin bermaksud pamer, riya, atau apa saja. Itu urusan dengan Tuhan-Nya yang berdimensi vertikal. Teman saya tetap tidak sepakat, dan saya pun bergeming dengan pendapat saya. Toh, sampai sekarang kami tetap berkawan, ngopi bareng, dan bermain catur.

****

Dua contoh perbedaan itu hanyalah secuil dari tak terhitungnya potensi perbedaan manusia di planet bumi yang berpopulasi lebih tujuh miliar manusia. 

Menulis sesuatu di blog ini juga contoh bagiamana kita mendapatkan ruang yang seluas-luasnya untuk berbeda pendapat. Segala hal menjadi laboratorium ilmu kehidupan yang memperkaya jiwa dan hati kita.

Mari kita rayakan perbedaan. Dunia tidak indah bila kita seragam, bukan?

Salam hangat.

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja