Dua Sisi Kartu Kredit

Bagaimana tidak nyaman hidup ini jika hanya bermodal menggesekkan kartu plastik seukuran KTP, kemudian sekejap barang idaman atau segala kebutuhan lain dapat kita tuntaskan. Banyak orang sangat tergantung dengan kartu kredit, makanya kartu itu sering disebut kartu ajaib.

Semudah dan senyaman itu kah?

Nanti dulu. Di balik segala keistimewaan, kartu kredit ibarat bom waktu yang akan menyiksa Anda. Di balik kemudahan yang ditawarkan terdapat kesulitan yang mengintai.

Sejatinya konsep penerbitan kartu kredit adalah sebagai alat untuk mempermudah transaksi pembayaran sebagai dana cadangan dalam situasi yang menentukan dan tidak dapat ditunda lagi.

Namun saat ini, kartu kredit beralih fungsi menjadi alat untuk menaikkan gengsi dan prestise. Mereka semua merasakan ‘feeling’ atau perasaan sensasi luar biasa ketika dapat menggesek kartu ajaib tersebut, lalu sekejap barang idaman menjadi hak milik.

Lebih parah lagi, jika situasi “feeling” berubah menjadi situasi “addict”. Dihubungkan dengan gengsi, adanya kartu kredit akan membius kita untuk membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Ya itu tadi, semata-mata hanya gengsi yang naik kelas menjadi candu mematikan.

Saya meyakini fenomena ini terjadi tak lepas dari pihak perbankan yang begitu mudahnya mengobral penerbitan kartu kredit. Masih jelas dalam ingatan, awal tahun 2000-an, untuk mendapatkan kartu kredit seseorang harus melewati prosedur yang ketat, bahkan berbelit-belit.

Pihak perbankan benar-benar menjalankan prinsip mengenal nasabah (know how costumer principle), yakni: Caracter (watak), Capasity (kemampuan), Capital (modal), Collateral (agunan), dan Condition of Economy (kondisi ekonomi), atau lazim dikenal disebut prinsip 5-C.

Penerbit kartu kredit harus melakukan investigasi ke kantor dan rumah kita. Tidak cukup melalui telepon, namun langsung mengirim utusan mengecek kondisi rumah dan kantor kita sebagai dasar pertimbangan. Pun tidak cukup sekali, bisa dua tiga kali.

Sekarang, mungkin semakin banyak bank penerbit kartu kredit sehingga persaingan untuk mendapatkan debitur semakin sulit, sehingga proses ketat tidak berlaku lagi. Yang terpenting bagaimana seorang marketing perbankan memenuhi target nasabah, meskipun nasabahnya “tidak layak’.

Singkat kata, hampir semua orang  dengan mudah memiliki kartu kredit, bahkan berlembar-lembar dengan berbagai jenis dan kelasnya. Di lingkungan sekitar saya saja, beberapa orang yang mengaku kepada saya bahwa dia memiliki lima sampai delapan kartu kredit. Di antara orang tersebut tidak semua bisa dikatakan debitur lancar. Saya kemudian membayangkan bagaimana beratnya membayar minimum cicilan dari tagihan tersebut yang benilai sekitar 20-30 juta rupiah per bulan. 

Mendengar pengalaman buruk mereka, saya merasa khawatir akan pengaruh buruk kartu kredit. Terbayang mengganggu ketenangan hidup karena berurusan dengan debitur kolektor yang tahunya hanya main fisik. Makan tidak lagi nikmat, bekerja tak lagi tenang, dan tidur tak lagi pulas.

Terkadang, keinginan memang selalu ada di sana, dan kenyataan hidup selalu ada di sini.  

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja