Membenahi Lima Faktor Untuk Menghadapi Persaingan Global


Posisi Indonesia bisa dikatakan belum cukup kuat untuk bersaing, sekalipun di tingkat ASEAN.

Menurut World Ekonomic Forum (WEF) tentang Global Competitiveness Index pada 2020, Indonesia berada di posisi ke 65 dari 174 negara yang disurvei. Jauh tertinggal dengan negara-negara ASEAN lainnya,  Singapura misalnya menduduki peringkat 3,  Malaysia (26), Brunei Darussalam (38), dan Filiphina (46). 

Rendahya peringkat daya saing Indonesia disebabkan beberapa faktor mendasar, yakni : (1) masih tingginya angka korupsi, (2) iklim investasi yang tidak stabil akibat rentannya konflik menjurus kekerasan, (3) penegakan hukum yang lemah, (4) tenaga kerja kurang terampil, dan (5) tingkat pendidikan yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia.

Persaingan global akan semakin terkoneksi yang akan mengubah wajah perekonomian secara cepat. Siapa tak berbenah maka akan terlindas persaingan.

Setelah mengetahui gambaran persaingan sebenarnya, tak ada jalan paling baik selain membenahi beberapa faktor penyebab di atas.


1. Korupsi

Berdasarkan catatan Lembaga Transparency Internasional (TI), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah. Skor IPK pada 2019 berada di angka 30. Indonesia terpuruk di posisi 90 dari 188 negara. Sebagai bandingan dengan negara anggota ASEAN, Singapura dengan IPK tertinggi (86), kemudian Brunei Darussalam (60), Malaysia (53). Dengan demikian Indonesia hanya sedikit di atas Timor Leste (38), Vietnam (37), Thailand (36), Filipina (34), Laos (39), Myanmar (29), dan Kamboja (20).

Data di atas menunjukkan dengan terang bahwa kualitas penanganan korupsi berbeda di setiap negara. Semestinya Indonesia tak perlu malu belajar dari metode dan tegasnya Singapura dalam memberantas korupsi. Di Negeri Singa, kejahatan korupsi ditindak dengan sungguh-sungguh, dan memiliki lembaga anti korupsi yang benar-benar independen. Bahkan diperkuat dukungan oleh komitmen politik dari pimpinan negara.

Bandingkan dengan Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), justru dicopoti segala kewenangannya, terutama dari konsolidasi partai politik, yang kadernya banyak terbukti melakukan korupsi.


2. Iklim Investasi

Iklim investasi di Indonesia tidak berkembang karena kendala birokrasi dan lemahya aspek yuridis dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaian dengan investasi .  

Dalam kendala birokrasi karena tak jelasnya kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tumpang tindih. Ini kemudian diperparah keterbatasan jumlah birokrat yang memiliki kompentensi dan profesional dalam pelayanannya. Hal ini karena proses rekrutmen, terutama di daerah banyak melanggar prinsip-prinsip administrasi publik.

Dalam aspek yuridis, beberapa peraturan yang berkaitan dengan birokrasi dalam pelayanan investasi perlu diamandemen. Sebut saja Undang-undang Perusahaan Terbatas (UUPT), Undang-undang Investasi (UUI), Undang-undang Pertanahan, Undang-Undang Pasar Modal (UUPM), Undang Anti Monopoli, Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 

Undang-undang tersebut diterapkan tidak konsisten, bersifat sentralistik, tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya yang tertera pada pasal-pasal yang mengaturnya. 

Keberadaan Undang-undang tersebut selama ini sangat menghambat reformasi birokrasi, yang memfokuskan pada perubahan pola pikir dan budaya birokrasi yang sehat. Rreformasi birokrasi yang dimaksud adalah tidak lagi menerapkan birokrasi warisan orde baru yang sarat pelanggaran dalam melayani masyarakat.


3. Penegakan Hukum

Praktek mafia peradilan yang selama ini terjadi di dunia peradilan, seperti tertangkap tangannya para Hakim, Jaksa, dan Polisi karena kasus korupsi, menunjukkan bahwa reformasi peradilan harus terus menjadi fokus Indonesia.

Indonesia mesti mempersiapkan diri dengan baik dan serius. Reformasi peradilan (Judicial Reform) mutlak dilakukan oleh masing-masing negara ASEAN. Reformasi peradilan sangat penting karena setidaknya dua alasan.

Pertama, pengadilan sangat mendukung pemerintahan dengan membangun rule of law dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi. 

Kedua, pengadilan juga berperan penting dalam membuat negara sebagai otoritas menjadi accountable terhadap aturan-aturan yang berlaku secara demokratis dan menjamin perlindungan hak-hak asasi manusia sebagaimana telah ditetapkan konstitusi, konvensi dan perundang-undangan.


4. Tenaga Kerja Kurang Terampil

Sekarang tidak ada lagi pasar kerja domestik, tapi yang ada adalah pasar kerja internasional. Kita harus bersaing dengan tenaga kerja asing untuk memperebutkan lapangan kerja yang ada di dalam negeri sekali pun. 

Sejatinya Indonesia menjadi pasar tenaga kerja potensial melihat jumlah penduduk yang sangat besar. Sayangnya tidak dibarengi dengan keterampilan yang memadai.

Salah satu sebabnya adalah produk pendidikan Indonesia saat ini kurang relevan dengan kebutuhan pasar kerja di masa depan. Pendidikan Indonesia lebih mengarah kepada pendidikan akademis daripada pendidikan vokasional yang menghasilkan tenaga kerja terampil. Kondisi ini kontras dengan negara maju seperti Jepang, Australia, dimana pendidikan vokasional jauh lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan akademik.

Inilah yang mengakibatkan banyak sarjana Perguruan Tinggi (PT) kita tidak menguasai aspek keahlian yang diharapkan oleh lapangan kerja. Selain itu program keahlian selalu dianggap program sekunder dari program akademik, sehingga kualitas peserta didik seringkali tidak memenuhi persyaratan minimal yang diperlukan bagi pendidikan keahliannya.

Supaya semakin tak tertindas persaingan, perlu rekonstruksi terhadap dunia pendidikan kita agar misi mencetak manusia Indonesia yang kompetitif di era globalisasi bisa tercapai. Pemerintah mesti terus menambah porsi pendidikan kejuruan yang fokus pada pelatihan kerja atau pengalaman kerja. Pengakuan terhadap lulusan pendidikan kejuruan juga perlu didorong kepada perusahaan, bahkan pemerintah ketika berlangsung proses rekrutmen tenaga kerja/PNS. Saat ini proses rekrutmen tenaga kerja masih banyak berdasarkan ijazah yang dimiliki dan bukan kompetensi.


5. Tingkat Pendidikan Yang Tidak Merata

Hingga kini, dunia pendidikan Indonesia memiliki kendala yang sangat serius pada keterbatasan akses, jumlah guru yang belum merata, serta kualitas guru itu sendiri yang masih kurang.

Pemerintah mesti meningkatkan pemerataan dan kualitas pendidikan. Akses pendidikan harus dibuka seluas-luasnya untuk seluruh masyarakat. Pendidikan Indonesia harus bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat, bahkan hingga tingkat Perguruan Tinggi.

Pemerintah juga mesti mendistribusikan guru-guru kompeten di daerah-daerah supaya merata. Caranya mungkin bekerja sama dengan pemerintah daerah. Kemudian dalam hal meningkatkan kualifikasi guru, Kemendikbud mesti terus memberikan beasiswa. 

Guru yang sesuai dengan kualifikasi saat ini masih belum merata. Banyak sekolah dasar dan menengah di daerhaa kekurangan tenaga guru. Menurut data Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, jumlahnya diperkirakan 112 ribu guru.

Pendidikan Tinggi juga sangat jomplang. Saat ini terdapat 4.000 PT di seluruh Indonesia, namun lebih separuh berada di pulau Jawa. Di luar pulau Jawa, banyak PT berjalan tidak sehat. Untuk mengatasi ini, pemerintah mesti melakukan redistribusi pendidikan secepatnya, sehingga orang-orang tak perlu urbanisasi ke kota besar demi mendaptkan pendidikan yang layak 

****

Dengan strategi yang tepat dan inovatif terhadap lima hal di atas, Indonesia sebenarnya tidak perlu terlalu khawatir tidak mampu bersaing. Potensi ekonomi kita sesungguhnya sangat besar jika dibangun dan dikelola berdasarkan kemandirian ekonomi yang telah ditegaskan pada pasal 33 UUD 1945.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja