Kisah Novel Tak Berujung
Pada subuh hari 11 April 2017, peristiwa kejahatan keji itu terjadi.
Novel Baswedan, penyidik senior Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), tiba-tiba diserang oleh dua orang yang menunggang sepeda motor, setelah menunaikan sembahyang subuh di komplek rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kedua pelaku menyiram wajah Novel dengan air keras yang merusak mata dan rongga pernapasan Novel.
Penyerangan terhadap Novel bukanlah peristiwa kriminal biasa, bukan hanya meneror Novel pribadi, namun menyerang intitusi negara yang terhormat. Teror kepada mereka yang berusaha melawan korupsi.
Novel seperti yang sudah dikenal sebagai penyidik kasus korupsi kakap, seperti membongkar korupsi simulator SIM di Polri, skandal korupsi Hambalang, megakorupsi proyek e-KTP, suap Ketua Mahkamah Kontitusi Akil Mochtar, dan lain-lain. Kinerja Novel melibatkan tokoh-tokoh besar dari legislator, pejabat pemerintah, perwira polisi, Jaksa, Hakim.
Sangat sulit untuk tidak mengaitkan penyerangan Novel dengan kasus-kasus yang ia tangani di KPK, baik yang telah berkekuatan hukum ataupun yang masih berproses. Bagi para koruptor dan kelompoknya, Novel adalah ancaman, momok yang mesti diselesaikan.
Ketika sudah seratus hari peristiwa subuh kelam itu dan pelaku penyerangan belum juga ditangkap, maka saya sudah berani menarik kesimpulan, perkara ini akan menjadi alat politis dan benturan-benturan kepentingan. Saya tak lagi punya harapan bahwa kasus Novel akan diselesaikan sampai tuntas dan semata-mata demi menegakkan keadilan bagi korban dan masyarakat luas.
Banyak manipulasi dalam proses. Saya yakin “pelakunya” akan ditangkap ketika semua sudah terkonsolidasi dan hanya untuk menaikkan citra lembaga. Tak mudah menghadapi kejahatan yang terorganisir. Dan makin tak mudah menghadapi kejahatan aparat hukum yang terorganisir dan sistematis.
Kamis, 26 Desember 2019, nyaris seribu hari setelah peristiwa, Polisi mengumumkan bahwa mereka telah menangkap dua pelaku itu, yakni Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette. Keduanya adalah anggota Polri aktif berpangkat Brigadir di kesatuan Brigade Mobil Depok. Dari keterangan Polisi kita tahu, mereka yakin tak salah tangkap, bahwa Ronny yang menyiram air di atas motor yang dikendarai oleh Rahmat. Motifnya aneh, karena menuduh Novel seorang penghianat Polri, padahal Novel sama sekali tak mengenal keduanya.
Sekalipun dibayangi banyak kejanggalan, publik masih berharap penangkapan ini akan menjadi momentum untuk membenahi kepolisian dan pengadilan. Tapi seperti yang telah kita saksikan, niatnya untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat karena mengungkap atau menyelesaikan pekerjaan rumah besar, tapi proses hukum terhadap dua pelaku justru membuat kita marah dan merasa kehilangan kepercayaan.
Seperti sudah diduga banyak pihak, pengadilan kasus Novel adalah sandiwara-sandiwara saja. Terlalu banyak kejanggalan sejak kejadian dan proses pengadilan. Polisi dinilai tidak berniat, Jaksa dianggap tidak serius, dan hakim tak bisa bertindak luar biasa.
Pada sidang perdana, dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), penyiraman terhadap Novel dinilai sebagai penganiayaan biasa, sehingga hanya didakwa dengan Pasal 351 dan 355 KUHP. Seharusnya dakwaan yang lebih tepat Pasal 340 tentang penganiayaan berat karena direncanakan dengan menggunakan air keras dan mengakibatkan luka berat.
JPU juga tidak berani menelusuri aktor intelektual di dalam surat dakwaan. Sehingga akan berhenti pada pelaku di lapangan yang dinilai dijadikan tumbal untuk menghapus ‘beban dan dosa’. Persidangan menutupi kebenaran material, digunakan untuk melindungi aktor intelektual sebagai dalang. Bahkan dalam persidangan JPU seperti memojokkan dan mendelitigasi korban, Novel Baswedan, yang seharusnya memberikan perlindungan.
JPU pun menuntut satu tahun penjara terhadap dua pelaku yang melarikan diri, menghilangkan jejak, dan merusak bukti. Disebutkan dalam materi tuntutan bahwa kedua pelaku tidak sengaja melukai wajah Novel. Sangat melukai rasa keadilan bahwa penganiayaan berat hanya dituntut sedemikan ringan.
Akhir drama perasidangan Novel di PN Jakarta Utara, saat Hakim memvonis Rahmat divonis dua tahun, sedangkan Roni 1,6 tahun penjara. ‘Lebih berat’ daripada tuntutan JPU. Vonis yang melukai rasa keadilan masyarakat.
Bagaimana bisa diterima akal sehat jika peristiwa berbahaya tersebut dianggap sebagai penganiayaan biasa, padahal jelas-jelas menyerang institusi negara. Vonis ringan memberikan preseden buruk bagi perlindungan aparat penegak hukum yang berpotensi, terutama pegawai KPK.
Tak perlu diragukan bahwa komitmen Presiden Jokowi terhadap anti korupsi semakin menurun. Persidangan perkara Novel menggambarkan dengan sangat jelas bahwa penegakan hukum Indonesia sangat buruk. Hukum negara kita compang-camping, dan sulit kita menjadi negara maju kalau hukum dipermainkan.
Persidangan Novel menurut saya lebih buruk dari penanganan kasus pembunuhan aktivis Munir pada 2004. Indonesia akan dinilai negara gagal dalam penegakan hak asasi manusia di pergaulan global.
Barangkali kita memlilih untuk tidak peduli karena air kerasnya jauh dari kita. Tapi kalau kita diam sama kekerasan yang menimpa Novel Baswedan, maka suatu saat kekerasan itu akan menghampiri kita.
Saya pribadi yang belajar ilmu hukum merasa sakit dan patah hati melihat dagelan hukum dipertontonkan sangat vulgar tanpa rasa malu. Tapi saya selalu berpesan pada adik-adik yang sedang kuliah di Fakultas Hukum, tetaplah belajar sungguh-sungguh. Jangan menyerah, apalagi menyesal.
Mengutip pernyataan Febri Diansyah, memang kita akan diuji seperti itu. Jangan lupa, pedangmu bisa digunakan untuk berperang merebut keadilan, tapi juga dapat dipakai membela kebusukan! Tentukan dengan hatimu yang bersih.
Salam perjuangan.
Komentar
Posting Komentar