Jurnalisme Investigasi Spotlight


Satu film drama yang membuat perasaan terguncang. Pesan film ini hendak menegaskan tak ada manusia sempurna, siapapun dan apapun latar belakang profesinya.

Pada 2 Maret 2016, di Kodak Theater, aktor kawakan Morgan Freeman mengumumkan bahwa Spotlight (2015) terpilih sebagai Best Picture pada malam Academy Award ke-88.

Spotlight berangkat dari kisah nyata, investigasi surat kabar The Boston Globe pada 2001 dalam membongkar praktik pedofilia para pastur gereja katolik secara masif.

Saya ingat koran Kompas meriview dengan judul Jurnalisme Tanpa Tabu. Bahwa demi kebenaran dan kemanusiaan, jurnalisme tak patut terjebak pada tabu. Pada saat hampir bersamaan, Leila S Chudori di Tempo (majalah yang mengusung Investigasi), mengulas Spotlight dengan pesan menohok, bahwa rumah Tuhan seharusnya menjadi tempat paling aman.

Sayang sekali, film ini tidak pernah tayang di layar bioskop di kota saya menetap, Makassar.  

***

Kembali ke Spotlight. Statistik menjelaskan mayoritas dari populasi kota Boston merupakan imigran dari negara Irlandia yang terkenal fanatik dan ortodoks dalam kehidupan dan religi. Kehidupan Boston mungkin bisa diwakili klub basket NBA Boston Celtics, atau klub NFL, Boston Red Sox. Sehingga untuk menunjukkan identitas Boston, maka wajib menampilkan Fenway Park Stadium, markas Sox, dalam satu adegan filmSemacam paket PSM-Mattoanging, jika kita berbicara identitas kota Makassar.

Cerita dimulai dengan perkenalan Editor baru di Boston Globe. Namanya Marty Baron (diperankan Liev Schreiber), laki-laki Yahudi; dinilai berpaham liberal; dan tidak (ingin) membangun rumah tangga seperti kebanyakan orang. 

Tapi Baron sangat independen sebagai jurnalis, tidak terpengaruh intervensi politik-hukum dan kekuatan institusi gereja, yang sudah sangat mengakar di masyarakat setempat. Bagi pemimpin agama (katolik) dan lembaga status quo, kehadiran Baron di Boston dianggap ‘berbahaya’ dengan menunggangi agenda terselubung.

Baron langsung membuat gebrakan dan menantang tim Spotlight, untuk menyampingkan dulu investigasi penyimpangan konstruksi gedung, dan beralih memprioritas pengungkapan tuduhan pelecehan seksual para pastur yang sudah berlangsung bertahun-tahun. 

Target yang ingin diburu adalah sistem, bukan kasuistis yang melibatkan satu-dua orang oknum pastur. Sempat menolak dengan alasan emosional yang bisa berdampak luas ketika menyerang institusi gereja yang sudah mengakar kuat di Boston, Spotlight akhirnya menggarap atas nama kebenaran dan keadilan.

Film berdurasi 128 menit ini sebenarnya sudah kita tahu seperti apa ujung ceritanya. Berjalan datar-datar saja, cenderung sepi, dan hening, audio musik hampir tidak ada, sampai kita menyaksikan dengan hati pilu wajah-wajah tak berdosa sekelompok penyanyi anak-anak gereja membawakan lagu-lagu kebaktian.

Kita seolah ikut terlibat di dalamnya, sedikit demi sedikit, lapis demi lapis, menemukan bukti sahih kejahatan yang berkeping-keping, dan pada akhirnya menciptakan mozaik puzzle yang utuh. Itulah hebatnya duet sutradara Tom McCarthy dan penulis skenario Josh Singer, yang membangun plot, sampai mengantar kita pada klimaks berkelas.

Skenario oke tetap membutuhkan para pemeran andal untuk menerjemahkan ke visual. Empat aktor yang memainkan karakter tim Spotlight tampil cemerlang, meski tak ada yang memenangkan Oscar. Tim dipimpin Walter Robinson (Michael Keaton) laki-laki asli Boston yang paling mengenal sejarah dan perkembangan Boston.

Mike Rezendes, karakter yang sepertinya paling sulit dijiplak, ternyata berhasil dimainkan nyaris sempurna oleh Mark Ruffalo. Ada juga jurnalis kalem Matt Carrol yang diperankan Brian Arcy James. Dan satu-satunya anggota tim perempuan bernama Sacha Pfeiffer dilakoni aktris berbakat Rachel Mc Adams.

Saya juga suka cara Tom McCarthy mencukupkan film, tak ada heboh-heboh seperti bayangan menebak endingnya. Tidak ada kesan bahwa Baron, tim Spotlight, dan bahkan The Boston Globe, adalah orang atau lembaga terhebat, sehingga terjebak menjadi hakim moral. 

Di pengujung film ditampilkan power point slide dengan konten ratusan nama-nama gereja di di seluruh dunia yang mengalami peristiwa serupa, dan itu harus dihentikan.

Pantaslah dikenang bahwa kemenangan Spotlight adalah kemenangan jurnalisme.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja