Pertarungan Gagasan Begawan Ekonomi


Gagasan memainkan peranan penting dalam proses perubahan masyarakat, termasuk kebijakan ekonomi yang merupakan pertemuan berbagai faktor dan kecenderungan, seperti kepentingan dan pengelompokan politik, dan sebagainya.

Konsep tersebut dijelaskan secara tajam dan memukau oleh Rizal Mallarangeng dalam bukunya Mendobrak Sentralisme Ekonomi, Indonesia 1986-1992. Buku yang disadur dari disertasi Rizal di Ohio State University, tentang perang gagasan liberal para ekonom yang membentuk liberalisasi ekonomi di Indonesia masa Orde Baru, terutama pada 1986-1992.

Rizal menyusun disertasi atau buku ini dengan tiga pendekatan teori. Kesatu, teori pilihan rasional, dasar yang sangat kuat tapi ragu mengaplikasikan teori ini di Indonesia. Teori ini efektif hanya dapat berjalan di suatu negara yang memiliki aturan yang dapat diprediksi, di mana pelaku ekonomi dan pemerintah bersikap rasional, dalam arti mereka memaksimalkan fungsi tujuan masing-masing.

Kedua, teori otonomi negara, yang menjelaskan tentang peran negara dalam menentukan proses kebijakan. Ketiga, teori ketergantungan, menerangkan negara mengintegrasikan dirinya ke dalam modal global.

Ekonomi politik di Indonesia merupakan bagian dari kepentingan modal global. Relasi negara maju dan berkembang. Rizal meminjam studi Dani Rodrik pada 1998 yang berjudul Politics in the Global Economy, bahwa proses liberalisasi ekonomi terjadi di berbagai negara pada tahun yang hampir bersamaan. Itu berarti ada semacam transformasi paradigma ekonomi tentang superioritas ekonomi pasar dalam pembangunan ekonomi suatu negara.

Supaya pembaca umum menjadi paham, Rizal terlebih dahulu mengutip buku Francis Fukuyama, State Building-Governance and World Order in the Twenty-First Century (2004), bahwa tiap negara harus dilihat dalam dua dimensi, yaitu kekuatan (strength) dan cakupan peranannya (scope). 

Suatu negara yang kuat (strong state) bersifat minimal, dalam arti tanpa intervensi berlebihan dalam dunia ekonomi dan bidang kehidupan umum lainya, namun bisa juga bersikap ekspansif, dengan dukungan kelembagaan yang mengakar dan bekerja efektif. Sebaliknya negara lemah (weak state) akan mudah terjerembab dalam kekacauan dan anarki. Otoritas tidak terlembaga, regulasi hanya sekadar permainan kata-kata, korupsi kronis, dan kerusuhan berbasis SARA.

Scope suatu negara ditentukan dari seberapa kuat atau lemah melakukan atau tidak melakukan secara efektif berbagai kegiatan publik, seperti membentuk sistem pertahanan dan peradilan, menciptakan regulasi dalam dunia ekonomi, memungut pajak, membangun infrastruktur dan semacamnya.

****

Liberalisasi ekonomi mungkin suatu topik tua, tapi ia tak putus dibahas, barangkali lantaran begitu banyak dimensi yang ada di dalamnya. Liberalisasi didefinisikan sebagai perubahan kebijakan, dari sentralis ke pro pasar. Perubahan dan arah kebijakan berawal dari gagasan dan perilaku para pengambil keputusan.

Liberalisasi atau kebebasan, dalam aspek modern, tidak mungkin terjamin tanpa perlindungan negara. Program-program yang bertumpu pada ide-ide kebebasannya, baik dunia politik dan dunia ekonomi, tidak akan mungkin terealisasikan jika elemen-elemen dasar negara berfungsi terlebih dahulu (hlm. 34).

Gagasan ada karena ketidakpastian, sebagaimana tesis Judith Goldstein pada 1993, Ideas, Interest, and American Trade Policy, menjelaskan bahwa antara kepentingan dan kebijakan terdapat ruang "ketidakpastian". Jadi meskipun pelaku mengetahui kepentingannya dengan baik, belum tentu dia mengetahui kebijakan yang paling tepat untuk mencapai kepentingan tersebut.

Dari buku ini kita menembus ruang dan waktu bagaimana ide dan perilaku para begawan ekonomi dan kumpulan aktor yang Rizal sebut sebagai “komunitas epistemis liberal.” Siapa saja mereka yang tergabung “komunitas epistemis liberal”? Menurut Rizal ia adalah kelompok ekonomi profesional di kampus-kampus (terutama UI dan UGM), di lembaga kajian ekonomi (think-thank), jurnalisme/kolumnis ekonomi bisnis di media-media terkemuka, dan yang lain.

Komunitas tersebut mengaktualisasikan pertarungan gagasan dalam realitas kebijakan, dan tentunya yang paling berpengaruh para kabinet ekonomi Soeharto: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Sumitro Djojohadikusumo, Emil Salim, Subroto, Muhammad Sadli, Radius Prawiro, dan paling belakangan Sumarlin.

Mereka yang kemudian dijuluki sebagai 'Mafia Berkeley', disebut-sebut menanamkan sistem ekonomi neo-liberalisme demi kepentingan Amerika Serikat di Indonesia. Mendoktrin paham yang mengajarkan proteksionisme bukan mekanisme tepat untuk mencapai keadilan dan pemerataan, sebab proteksionisme akan selalu menghasilkan ketidakadilan dalam bentuk baru.

Studi Rizal memang memfokuskan hanya rentang 1986-1992, tetapi gagasan liberalisasi telah tersebar luas, terentang panjang, dan mendapatkan banyak legitimasi dari lembaga dan publik. Argumentasi dan studi yang Rizal susun ini kian hari mendapatkan bukti empiris di sektor ekonomi Indonesia. Terutama proses pengambilan dan eksekusi kebijakan ekonomi karena kuatnya pertimbangan politik.

Chatib Basri dalam pengantar menulis betapa 'berbahayanya' Rizal telah menulis buku demikian provokatif dan amat memikat.

Saya telah mendapatkan buku ini sejak sepuluh tahun lalu, namun tetap sangat menarik sebagai bahan diskusi ekonomi politik liberalisasi di Indonesia.  

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja