Jadikan Migas Sebagai Komoditas Strategis



Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan sumber kekayaan alam dikuasai negara. Pasal 33 UUD 1945 mengatur bahwa ''sumber daya alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” Pasal itu seharusnya merupakan dasar dari setiap kebijakan pemerintah terkait bidang ekonomi. 

Prinsipnya kekayaan negara harus dinikmati sebesar-besarnya oleh negara. Konsep negara menguasai sumber kekayaan negara kompleks dan berjenjang. Dimulai dari hulu ke hilir. Dari kebijakan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. 

Oleh karena itu lebih mudah kita memahami sektor minyak dan gas (Migas) sebagai salah satu sumber daya alam, jika kita mengkaji selangkah demi selangkah. 

Kebijakan 

Sektor migas punya peran sentral di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sektor migas sangat strategis, karena itu harusnya menjadi komoditi strategis juga—bukan komoditi pasar—seperti diberlakukan di Indonesia saat ini. 

Dengan menjadi komoditi strategis maka peran pemerintah bisa melakukan intervensi penuh. Selain itu sudah semestinya pemerintah memberikan konsesi penuh kepada Pertamina. Seperti terjadi pada banyak negara penghasil migas, sebut saja Petronas di Malaysia, Petrobras di Brasil, dan Statoil di Norwegia. Karenaa faktanya, kebijakan pemerintah senantiasa berpihak pada mekanisme pasar, sehingga dikuasai (asing). 

Dalam berbagai pembukaan ladang migas baru ataupun perpanjangan kontrak kerja sama, pemerintah selalu meminggirkan peran Pertamina, yang dinilai tidak mampu mengelola, tidak memiliki SDM handal, hingga tidak memiliki kecukupan modal. Hampir 80 persen ladang migas di Indonesia dikuasai asing. Ke depan, jika pemerintah ingin Pertamina besar dan kuat, perusahaan negara itu harus diberi kesempatan dan kepercayaan. 

Pengaturan 

Payung hukum pelaksanaan sektor migas dinilai saling bertentangan. Seperti bunyi Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minerba. Kedua instrumen hukum itu tidak berjalan seiring. 

UU nomor 22 tahun 2001 sebagai implementasi UUD 1945 membuka peluang liberalisasi dan penguasaan asing atas ladang minyak Indonesia. Migas yang semestinya dijadikan komoditi strategis, dalam UU ini disebut sebagai komoditas pasar. Ini tentu membuka peluang asing mengelola ladang minyak kita, sementara peran Pertamina disamakan dengan perusahaan-perusahaan asing lainnya. 

Idealnya jika migas ditetapkan sebagai komoditi strategis, maka pemerintah bisa intervensi dan mengontrol serta segera lakukan amandemen terhadap UU Nomor 22 Tahun 2001, karena telah merugikan kesejahteraan rakyat. Amandemen UU Nomor 22 Tahun 2001 membuka peluang lebih besar kepada Pertamina untuk mengembangkan sektor hulu migas.  

Faktor selain pemerintah belum menunjukkan komitmen kuat untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan  migas, adalah tidak ada koordinasi di antara kementerian maupun perusahaan BUMN. Masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing kementerian memiliki kebijakan sendiri, sehingga sering tumpang tindih atau menjadi tidak efisien. 

Pengelolaaan 

Tata kelola di sektor migas masih kacau balau. Pengelolaan sekotor migas sangat tertutup, terbatas untuk elit dan tidak transparan. Hal ini membuat masyarakat luas tidak banyak tahu, apalagi paham berlikunya rantai industri migas. Padahal dari hulu sampai hilir terdapat potensi besar tindakan korupsi. 

Kasus suap mantan kepala SKK Migas, Rubiandini, diyakini hanya bagian kecil dari karut penyimpangan industri migas di Indonesia. Penting membangun tata kelola migas menjadi format usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi yang menjunjung kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian untuk menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 

Kita semua berharap model tata kelola industri migas ke depan memiliki roh Kedaulatan Energi dalam bentuknya yang konkrit. Yaitu dengan memastikan bahwa manajemen Kontrak Kerja Sama migas tetap ditangan pemerintah atau Badan atau Perusahaan Negara yang khusus dibentuk pemerintah, seperti Pertamina dan SKK Migas. 

Pengawasan 

Mengingat sektor strategis yang memutar ratusan triliuan rupiah per tahun, tentu memerlukan penguatan pengawasan, internal dan eksternal. Salah satu cara pengawasan efektif dengan membuka akses pada publik untuk mengetahui kebijakan, memperbaiki audit cost recovery, dan penguatan BPK. 

BPK harusnya lebih tegas dalam melakukan audit, tidak ada lagi kompromi kepentingan politis. Tindak korupsi sektor migas selama ini terbukti melibatkan empat pihak; SKK Migas, pemerintah, swasta, dan DPR. Namun jika ditelaah lebih lanjut yang jadi sumber permasalahan adalah para oknum anggota DPR yang memanfaatkan pengaruhnya. Sudah saatnya sektor migas  dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja