Mengenang Queen di Konser Live Aid 1985



Bohemian Rhapsody (2018) adalah film biografi Freddie Mercury dan band rock Inggris legendaris, Queen. 

Selalu sulit mengadapatsi biopic sosok terkenal. Freddie dan Queen punya banyak babak sepanjang karir dan hidupnya, itu menjadi tak mudah menyatukan semuanya dalam satu film yang berdurasi dua jam. 

Formulanya harus tepat, benar-benar memilih bagian mana yang akan digarap dengan fokus dan detail, atau bisa dibilang berjuang untuk menemukan cara baru menceritakan kisahnya. 

Sutradara Bryan Singer dan penulis skenario Anthony McCarten rupanya berusaha ingin menjangkau semuanya, namun jatuh pada eksekusi yang serba tanggung. Naskahnya menjadi kedodoran. 

Kata guru saya metode terbaik dalam melakukan penelitian, mengetahui sedikit tapi mendalam, jangan sebaliknya mengambil banyak tapi dangkal dan jauh melebar, membuat kita tersesat. 

****

Film ini dibuka dan diakhiri adegan konser Queen di Live Aid 1985, yang menjadi daya tarik orang menonton Bohemian Rhapsody.

Farrokh Bulsara, putra sulung keluarga Parsi imigran dari Zanzibar ke London karena kotanya dilanda kerusuhan rasialisme pada 1970-an. Farrokh bekerja sebagai porter di Heathrow Airport London.

Pada malam-malam ia ‘keluyuran’ ke klub menyaksikan band Smile manggung. Saat sang vokalis band itu hengkang menyisakan Brian May dan Roger Taylor, Farrokh menawarkan menjadi pengganti. Tentu awalnya ia ditolak karena giginya terlalu tonggos. Namun setelah 'audisi'mendadak di belakang klub itu, sejarah besar tercipta dari grup tersebut yang kemudian mengganti nama: Queen. Nama yang memberi tafsiran luas, termasuk persepsi gay.

Freddie Mercury diperankan oleh Rami Malek. Awalnya kikuk dan membingungkan, aksen Malek terasa berlebihan, dan giginya terlalu tonggos, sehingga tampak seperti robot. Namun setelah menumbuhkan kumis dan rambut, ia luar biasa menghidupkan lagi sosok Fredie. Tentu tiap lagu yang dinyanyikan bukan suara Malek, tetapi ia bisa berakting luar biasa di atas meniru aksi panggung Freddie yang energik, bergelora, dan provokatif.

Konflik sebenarnya adalah kehidupan di luar panggung Freddie dan personel Queen. Hubungan dengan keluarga terutama ayahnya; pertikaian dengan anggota band; gaya hidup hedonisme; dieksploitasi dan dikhianati teman barunya; orientasi seksualnya yang bisek-bukan gay, tak gamblang diungkap, meski penggemar ingin mendapat konfirmasi dari isu ini.

Penggemar juga ingin tahu lebih dalam kisah percintaan Freddie dengan kekasih abadinya, Mary Austin, yang diperankan dengan manis Lucy Boynton. Mereka berpacaran bahkan bertunangan. Adegan paling menyentuh dalam film ini adalah di mana Freddie mengakui bahwa ia seorang biseksual.

Bohemian Rapasody, judul lagu misterius di album A Night at the Opera (1975) bahkan tidak dijelaskan dengan baik. Latar belakang, proses pembuatan dan makna lirik Bohemian Rhapsody tak pernah terjawab hingga film selesai.

Semua konflik tersebut dieksekusi terlalu minim dan seperlunya saja, tidak digarap dengan intens, karena persoalan yang disebutkan di atas, pembuat film ambisius menampilkan semua fragmen.

Bagi penggemar yang berharap terlalu jauh akan sosok Freddie akan kecewa. Sebaliknya banyak penonton rasanya tak peduli. Mereka datang ke bioskop untuk menikmati kembali suara Freddie Merkuri yang bening dan luar biasa tinggi (4 oktav), mereka menyikapi film ini dengan ringan-ringan saja, karena memang jatuh seperti film televisi.

Adegan penutup konser Live Aid itulah yang paling ditunggu dan banyak diputar di saluran-saluran digital. Live Aid bisa dilihat sebagai sesi yang mengesankan. Konser amal untuk donasi di negara-negara Afrika tersebut diisi hampir semua musisi papan atas tanpa bayaran. 

Banyak pengamat dan kritikus musik menilai bahwa penampilan 21 menit Queen dengan membawakan enam lagu: Bohemian Rhapsody, Radio Ga Ga, Hammer To Fall, Crazy Little Thing Called Love, We Will Rock You, dan We Are The Champions merupakan performa paling memukau di Stadio Wembley Klasik. 

Vokal Freddie yang tinggi dan sangat kuat, mengguncang 72 ribu orang yang hadir. Stadion bergema mengikuti improvisasi Freddie, bertepuk tangan, berjingkrak-jingkrak, bergoyang, dan tentu saja menyanyi bersama.

Freddie adalah laki-laki flamboyan, legenda, ia meninggal pada 24 November 1991 karena penyakit AIDS yang ia ketahui menjelang konser di Wembley 1985.

Konser rock terbaik sepanjang masa itu peristiwa sejarah besar yang terjadi pada 13 Juli 1985, hari ini tepat 35 tahun silam. 

I miss you, Freddie.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja