Sabar Menunggu Olimpiade Tokyo (1)


Jika berjalan dengan normal tanpa pandemi korona, seharusnya hari ini, Jumat malam, 24 Juli hingga 9 Agustus 2020, seluruh mata dan perhatian dunia akan tertuju ke kota Tokyo Jepang, guna menyaksikan upacara pembukaan, pertandingan, dan perlombaan di ajang pesta olahraga dunia ke-32.

Tokyo 2020, bagi saya merupakan Olimpiade ke-8 yang saya tonton. Sebelumnya ada Barcelona 1992, Atlanta 1996, Sydney 2000, Athena 2004, Beijing 2008, London 2012, dan Ri0 2016. Tujuh Olimpiade tersebut memiliki masing-masing memori dan cerita kedigdayaan para Olympian hebat.

Catatan ini kilas balik saya menonton Olimpiade.

Perhelatan Olimpiade adalah hiburan dan tontonan sport bermutu dan prestisius. Selaras dengan motto Olimpiade "Citius, Altius, Fortius", yang berarti lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat di seluruh dunia. Sungguh menarik dan sangat dinantikan karena hanya dilaksanakan sekali dalam empat tahun.

Konon, Olimpiade kuno pertama kali digelar pada 776 SM, di kota Athena. Tentu kita sulit mendapat dokumentasi resmi dalam rentang waktu lebih dari 3.000 tahun silam.

Kota Athena pula yang mengawali Olimpiade modern pada 1896, hingga perhelatan Olimpiade XXXI di Rio de Jeneiro, Brasil, empat tahun lalu. Olimpiade modern merupakan simbol perdamaian dunia dengan mempersatukan perwakilan atlet lebih 200 negara dalam satu tempat dan waktu secara bersamaan.

*****

Saya beranjak remaja berumur 11 tahun ketika Olimpiade Barcelona 1992. Olimpiade ini disebut-sebut sebagai Olimpiade terhebat sepanjang sejarah pelaksanaan. Tidak hanya opening ceremony yang masih saja diingat hingga kini dengan penyulutan api ke kaldorn melalui anak panaj yang dilepas dari busur atlet penyandang difable.

Negara kita, Indonesia, juga mencatat sejarah pertama kali meraih medali emas, bahkan langsung dua keping lewat dua sejoli, pengantin emas Alan Budikusuma dan Susi Susanti, di cabang Bulu Tangkis. Itu emas pertama dan kedua sejak keikutsertaan Indonesia selama 40 tahun sebelumnya di Olimpiade Helsinki, Finlandia 1952.

Barcelona juga menjadi panggung negara USA memamerkan tim nasional Bola Basketnya yang superior. Tak ada lawan dan tak ada banding. The Dream Team diperkuat legenda-legenda NBA: Michael Jordan, Magic Jonhson, Larry Bird, Karl Malone, Charles Barkley, Jhon Stockton, dll. USA meraih emas dengan mudah dan penampilan aktraktif lewat delapan streak kemenangan rerata 30 poin dari rivalnya, dan tidak pernah mengajukan Time Out, sejak penyisihan hingga di final memukul Kroasia.

Tak kalah penting, ajang multi event ini merupakan debut beberapa negara karena sentimen politis. Jerman berpartisipasi sebagai negara kesatuan Barat dan Timur setelah runtuhnya tembok Berlin pada 1989. Negara adidaya blok Timur, Uni Soviet, yang sebelumnya utuh, justru terpecah menjadi 15 negara setelah paham komunisme rontok pada 1989.

Kita juga mengenang politik apartheid di Afrika Selatan juga sudah berlalu berkat rekonsiliasi demokrasi rezim Madiba, Nelson Mandela.

Empat tahun kemudian IOC menggelar anniversary satu abad penyelenggaraan Olimpiade di Atlanta, AS. Kota kelahiran pejuang demokrasi dan HAM, Marthin Luther King ini, dipercaya dengan menyisihkan Athena sebagai host dengan taglinenya Olympic Come Home.

Momen paling dikenang saat USA mempercayakan penyulutan api Olimpiade 1996 kepada seorang Muhammad Ali, The Goat. Petinju yang ketika jaya dijuluki 'si mulut besar', waktu itu dengan tangan dan kaki bergetar akibat parkinson syndrome yang dideritanya, Ali melangkah menuju kaldron diiringi perasaan cemas setiap mata yang memandangnya.

Tapi Ali sekali lagi menunjukkan kepada dunia semangat juara tak pernah terenggut dari dirinya. Ali menularkan spirit luar biasa kepada 10 ribu atlet dan ratusan juta pemirsa menyaksikan penampilannya yang menyentuh. Tidak sedikit pemimpin dunia dan atlet-atlet tenar tertangkap kamera menitikkan air matanya melihat aksi heroik Muhammad Ali, The Greatest.

Sepanjang pegelaran perlombaan dan pertandingan hari-hari olimpiade, atlet paling diingat pada tahun ini adalah sprinter tuan rumah, Carl Lewis, yang mampu menyabet medali emas dari empat Olimpiade sejak Los Angeles 1984, sehingga total 9 medali emas dikumpulkan atlet kelahiran Alabama ini. Satu Olympian terbesar yang pernah ada.

Bagaimana dengan kontingen Indonesia? Meski pengalami penurunan prestasi, Indonesia tetap dapat mendapatkan medali emas lewat ganda puta Bulu Tangkis, Ricky Soebagja / Rexy Mainaki, setelah menyudahi perlawanan alot dan menegangkan dari duet negara tetangga, Cheah Soon Kit / Yap Kim Hock. Saya menonton laga dramatis tersebut dengan ketegangan memuncak dan berjingkrak-jingkrak saat Ricky/Rexy memastikan kemenangan.

Menjejaki millenium, Olimpiade sampai ke kawasan Pasicif. Kota Sydney sebagai ikon kota, negara, dan benua Australia, mendapat giliran dan kehormatan. Entah kenapa bagi saya, Olimpade Sydney adalah Olimpiade paling biasa-biasa saja dibanding sebelumnya. Pesta empat tahunan ini terasa agak garing dan kaku tanpa prestasi dan momen-momen fenomenal yang dapat saya ingat dengan baik.

Kontingen Indonesia kembali tertolong dari nomor ganda putra Badminton lewat pasangan Chandra Wijaya/ Tony Gunawan yang meraih satu-satunya medali emas untuk kontingen Merah Putih. Cabang olahraga Angkat Besi juga mulai menyumbang medali pada Olimpiade ini melalui para lifter nan perkasa.

Saya banyak terlewatkan pertandingan dan perlombaan final yang memperebutkan medali ketika itu. Karena itu, tak banyak yang bisa saya ingat dari Olimpiade Sydney 2000.

Perhelatan Olimpiade Athena dengan mengusung Olympic coming home, yang gagal delapan tahun sebelumnya, akhirnya terlaksana pada 2004. Olimpiade kembali ke tanah kelahirannya setelah 108 tahun. Penyelenggaraan Olimpiade terkomplet dan historis terselenggara karena menggabungkan olahraga dengan nuansa sejarah, budaya, dan pesta perdamaian. Bahkan untuk menapaktilasi sejarah, beberapa venue Olimpiade 1896 masih digunakan pada Athena 2004.

Saya ingat sebelum menonton tiap hari saya dipandu liputan khusus Kompas yang sampai sekarang masih saya koleksi bersama dengan liputan tabloid Bola.

Bulu Tangkis lewat nomor tunggal putra terbaik kita, Taufik Hidayat, menjuarai dan mendapatkan medali emas guna menyelamatkan wajah Indonesia.

USA masih menjadi juara umum, namun ancaman Cina semakin meneror dengan selisih tiga medali emas saja. Hasil itu pula meyakini para pengamat olah raga, bahwa Cina akan memetik hasil empat tahun lagi di negeri sendiri saat menjadi tuan rumah (bersambung).

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja