Budaya Kematian


“Ternyata orang yang baik itu adalah orang yang ingat akan mati, karena akan mengisi hidup ini lebih berarti dan berharga”.

Kita semua berhutang kematian. Tanpa terkecuali. Kematian boleh dikata akhir tujuan bersama, namun setiap orang memiliki jalan yang berbeda hingga sampai ke tujuan tersebut. 

Catatan ini tidak membicarakan dari perspektif keimanan individu yang mati untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatannya semasa hidup di hadapan Tuhannya. Tapi menitikberatkan kematian sebagai tradisi, proses sosial dan budaya yang coba dilestarikan untuk kehidupan yang lebih bermakna bagi komunitasnya. 

Bukankah nilai-nilai agama dan nilai nilai budaya saling mengisi. Melalui wadah budaya, nilai-nilai agama dapat diekspresikan, dilindungi, dan dilembagakan, sehingga masyarakat mudah memahami dan menerimanya sebagai suatu tradisi setiap komunitas budaya. 

Ada dua budaya kematian yang melekat dalam ingatan saya. Yakni budaya Jawa dan budaya Toraja. 

Pertama, ritual kematian orang Jawa. Tak cukup sehari atau sepekan layaknya proses kematian pada umumnya. Mereka melangsungkan ritual kematian dalam rentang waktu yang panjang. Mulai dari saat kematian (geblak), peringatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, dan 1000 hari. 

Cara orang Jawa menyikapi kematian memang menarik. Setiap kegiatan punya makna sendiri-sendiri. Menurut kepercayaan Jawa, setelah satu tahun kematian, arwah dari saudara yang diperingati kematiannya tersebut telah memasuki dunia abadi untuk selamanya Untuk memasuki dunia abadi tersebut, arwah harus melalui jalan yang sangat panjang, oleh karena itu penting sekali diadakannya beberapa upacara untuk menemani perjalanan sang arwah. Upacara tradisional ini menyimbolkan penghormatan sanak keluarga yang masih hidup kepada orang tua dan leluhur mereka. 

Bagi orang jawa, kematian adalah paradoks kehidupan. Kematian bukan merupakan titik akhir, melainkan awal perjalanan hidup yang lebih kekal. Masyarakat Jawa mempercayai adanya dunia lain sesudah mati. 

Berbeda di Toraja, upacara kematian dikenal sebagai Rambu Solo’. Upacara kematian menjadi tontonan. Di tempat tersebut, alam baka setelah kematian terasa begitu dekat, seperti tidak berjarak. Upacara adat kematian pada masyakat Toraja tak pernah kehilangan daya pikat. 

Suguhan upacara bisa menelan biaya milyaran. Sejumlah atraksi menarik, dan rangkaian ritual sarat nilai budaya khas ditampilkan kepada umum. Sebelum dimakamkan, jenazah bisa bertahun-tahun disemayamkan di rumah adat tongkonan dan baru dimakamkan setelah keluarga besarnya siap secara materi dan rohani. Tak jarang keluarga yang ditinggalkan harus berhutang karena merasa terikat erat pada adat. 

Untuk dapat menggelar upacara, mereka menyembelih puluhan bahkan ratusan hewan besar, terdiri dari kerbau, sapi, kuda, rusa, dan anoa. Tak terhitung lagi jumlah ayam yang dipotong. Harga hewan besar seperti kerbau atau tedong berkisar 30 juta hingga menyentuh 300 juta! Ritual adat kuno ini merupakan penegasan di mana posisi status sosial mereka. Apakah termasuk posisi kebangsawanan atau tidak, karena biar bagaimana pun tak semua orang Toraja bisa menyembelih kuda, rusa, dan anoa. 

Terjaganya tradisi budaya masyarakat Toraja yang sangat tua ini, karena mereka meyakini bahwa pengorbanan mereka yang lebih tersebut akan membuat kehidupan orang yang mati dapat sampai ke alam baka yang diidamkan (puya). Sayangnya, telah ada pergeseran makna dalam pelaksanaan ritual yang akan membawa arwah ke alam baka ini. 

Sekarang ini upacara pemakaman telah dijadikan ajang kampanye politik daerah. 

Jangan mati, sebelum ke Toraja.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja