Pendidikan Berkarakter


Sejak lama, paradigma pendidikan kita jauh ketinggalan zaman. 

Dalam kenyataan bukan mencerdaskan kehidupan bangsa, namun membuatnya makin bodoh. Arus utama pendidikan adalah menghafal, orientasi nilai, belajar hanya fokus untuk ujian, dan pengajaran satu arah dengan guru menjadi pusat pengajaran.

Franz Magnis Suseno, budayawan dan cendekiawan senior, mengistilahkan dengan paradigma ‘botol kosong’. Murid pokoknya diisi dengan segala macam informasi dan ceramah dan kemudian dituntut memuntahkannya kembali. Suatu pendekatan pendidikan yang fatal.

Idealnya, pendidikan merangsang kemampuan intelektual; rasa ingin tahu, ingin meneliti, mau eksplorasi, sikap kritis yang mempertanyakan dan tidak langsung menelan, kreatifitas intelektual dan emosional/estetika, keberanian untuk berpikir secara baru, secara alternatif, keberanian untuk mengaku kalau tidak tahu lalu bertanya. 

Sikap-sikap ini akan terangsang apabila pola pendidikan bersifat terbuka, dialogal, diskurtif, kritis, non-otoriter. Mungkin inilah substansi dari pendidikan karakter. 

Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kuantitas dan kualitas warga terdidiknya yang selalu melakukan inovasi pengetahuan di tengah masyarakat. Kemajuan bangsa bukan hanya selalu dari inovasi besar, tapi ditentukan dari inovasi mulai dari hal kecil dengan terus belajar sepanjang usia.

Pendidikan karakter bersifat jangka panjang, bukan hasil satu atau dua kali mencoba, tetapi merupakan proses yang berlangsung terus menerus karena harus ternanam dalam perilaku kita sehari-hari (pattern of action). Dalam hal ini juga perlu ada tokoh panutan di sekitar masyarakat.

Oleh karena itu, tak ada kata terlambat, arah pendidikan harus direvisi dan diperjelas, kerena pendidikan saat ini lebih menekankan pada aspek akademis. Sehingga mengabaikan pendidikan karakter yang bersifat lebih luas seperti membangun pendidikan di bidang kreatifitas, seni, olahraga, budaya dll.

Apalagi pendidikan juga di beberapa tempat sudah melenceng dari konstitusi negara kita, semakin liberal dan bangga pada budaya bangsa asing. Padahal negara-negara lain bisa maju karena bisa menggali kekayaan lokal dan manfaatkan potensi dirinya, kita malah meninggalkan keluhuran bangsa sendiri.

Sekali lagi bahwa pendidikan karakter kini memang menjadi isu utama pendidikan. Sebagai bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter juga diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai janji kemerdekaan yang tercantum dalam UUD 1945. Oleh karena itu, menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter pada siswa sejak dini dirasa sangat penting.

Namun, keberhasilan pendidikan karakter tidak cukup menjadi tanggung jawab pemerintah dan pihak sekolah ataupun lembaga pendidikan, tetapi juga lingkungan keluarga dan masyarakat. Itulah semua yang kita butuhkan.

Semoga dengan semboyan Tut Wuri Handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah di antara murid, guru harus menciptakan ide kreatifitas), dan Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan yang baik) .

Dan juga dengan inspirasi semboyan yang digagas oleh Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara tersebut, sistem pendidikan kita dapat memberdayakan seluruh warga negara Indonesia untuk berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan peradaban jaman yang selalu berubah.

Salam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja