Bola Klasik: Jerman vs Italia 2006
Dengan hasil ini, Der Panzer selaku tuan rumah melangkah ke semifinal berhadapan dengan Italia untuk memperebutkan satu tiket pertandingan final. Italia sendiri maju paska mengalahkan negara debutan, Ukraina, dengan skor 3-0.
Pertemuan klasik dua raksasa Eropa itu digelar pada 4 Juli 2006 di Westfalen Stadion, Dortmund, yang sanggup menampung 66.000 penonton.
Der Panzer ketika itu diarsiteki oleh pelatih muda yang penuh gairah dan meledak-ledak melihat penampilan anak asuhnya di lapangan, eks striker timnas berambut pirang, Juergen Klinsmann. Dengan yakin Klinsmann dan pasukannya berjanji akan pergi ke Dortmund dan kembali lagi ke Olympia Stadium Berlin untuk bertanding di final akbar kemudian mengangat tinggi-tinggi trofi lambang supremasi tertinggi sepak bola dunia, Piala Dunia, untuk ke empat kalinya.
Tak ada satu pun suporter Jerman meragukan itu, terutama pendukung di Berlin, sangat yakin Die Manschaaf akan kembali ke ibukota negara. Pesta di Berlin telah disiapkan semeriah mungkin. Media setempat juga optimismis, bahwa Jerman akan mengempaskan Italia, tidak peduli sejarah pertemuan memihak Italia, rasa percaya diri tuan rumah kadung memuncak. Kecuali para penggemar Gli Azzuri, semua meyakini Jerman lebih baik dan lebih pantas maju ke final.
Nyatanya tidak!!!
Italia membungkam Jerman dan publik sepak bola dunia lewat partai paling dramatis yang bakal tercatat dalam sejarah. Jerman kembali gagal mengalahkan Italia, seperti di semifinal Piala Dunia 1970 dan final Piala Dunia 1982. Gri Azzuri yang dilatih Marcelo Lippi bagaikan malaikat pencabut nyawa bagi kesebelasan Jerman beserta 82 juta penduduknya. Mimpi menjadi juara dunia yang sudah di depan mata buyar oleh dua gol perpanjangan waktu Fabio Grosso dan Alesandro Del Piero, pada menit ke-118 dan ke-120.
Mimpi indah dan pesta yang telah disiapkan pecinta sepak bola Jerman nyatanya tidak pernah terjadi. Yang ada hanya kesedihan mendalam. Tidak sedikit air mata jaruh berderas dari mata pemain dan suporter Jerman. Klinsmann mencoba tegar dan memeluk setiap anak asuhnya untuk fair menerima kekalahan.
Sungguh dengan sangat jelas kita dapat merasakan bahwa kemenangan dan kekalahan begitu dekat. Suka cita dan duka cita di sepak bola hampir tak ada jarak.
Bukan Jerman yang datang ke Berlin, tapi Italia, yang akhirnya menjadi juara dunia setelah menang adu penalti melawan Perancis. Jerman “terusir” ke kota Stutggart untuk melakoni partai hiburan mencari juara ketiga. Penduduk Jerman seperti kehabisan minyak untuk pertandingan “hiburan” tersebut. Di Stuttgart, Jerman menang melawan Portugal, namun tidak lagi banyak klimaks kecuali sisa-sisa tangis skuad Jerman dan Portugal di semifinal.
Enam tahun berselang, Jerman kembali menantang Italia pada semifinal Piala Eropa 2012 di Stadium Nasional Warsawa, Polandia. Jerman juga diunggulkan saat itu berdasarkan fakta aktual.
Pelatih Jerman, Joachim Loew, yang enam tahun silam adalah asisten Klinsmann, dengan tegas mengatakan bahwa pertandingan ini bukan misi balas dendam. “Tidak ada yang namanya balas dendam dalam sepak bola. Lupakan masa lalu, karena kita tidak bisa kembali ke sana.” Ujar pelatih modis ini.
Boleh saja Loew berkata seperti itu, mungkin cara untuk meghilangkan trauma 2006. Saya meyakini pecinta sepak bola Jerman merasa terusik dan terus dihantui mengapa bisa mereka notabene sebagai raksasa Eropa tidak sekalipun bisa mengalahkan Italia di laga kompetitif.
Terlebih suporter kedua negara, media seluruh dunia, pundit, dan bursa taruhan tidak akan pernah menggambarkan laga klasik ini secara sederhana. Lebih dari sekadar pertandingan sepak bola.
Adu kekuatan mental, sejarah, kehormatan nama bangsa yang selalu ingin saling mengungguli adalah pertaruhan yang bakal tersaji secara epik lewat pertandingan sepak bola di tanah Polandia, daratan yang juga pernah diduduki bangsa Jerman pada awal Perang Dunia II meletus.
Itulah Jerman dan Italia. Dua raksasa Eropa.
Komentar
Posting Komentar