Revolusi Mental Anti Korupsi


Jalan kekuasaan bukanlah jalan lurus dan mulus, selalu ada yang menggoda hasrat berkuasa, dan pada waktunya sejarah selalu berulang.

Bukan hal mengejutkan lagi ketika pejabat publik, mulai tingkat eksekutif, legislatif, yudikatif, dan auditif, akhirnya ditetapkan menjadi tersangka dan kemudian divonis menjadi narapidana korupsi.

Pada satu kuliah umum yang saya hadiri mengenai penanganan kasus korupsi, Abraham Samad, Ketua KPK 2011-2015, mengatakan setidaknya ada dua motif kenapa orang bisa melakukan korupsi. Pertama, adalah kebutuhan yang mendesak, dan kedua adalah keserakahan akibat gaya hidup mewah para pejabat.

Saya paling sepakat dengan motif keserakahan. Sebagai contoh, pejabat level nasional mendapat gaji senilai Rp. 100-200 juta dalam sebulan, ada saja masih merasa kekurangan, sehingga harus memenuhi dengan korupsi. Saya tidak percaya jika ada pelaku korupsi yang mengaku tidak sengaja atau tidak mengerti bisa melakukan korupsi.

Saya pun kadang merasa risih ketika melihat para koruptor di media tidak menampakkan wajah penyesalan, permohonan maaf, dan tak ada rasa malu dalam hubungan sosial. 

Saya ingin memberikan contoh seorang narapidana korupsi, yang dibebaskan dari bui setelah menjalani dua pertiga masa hukumannya. Kemudian dia pulang kampung, setibanya di kampung halaman, saya tak percaya dia mendapatkan sambutan meriah layaknya ketika menyambut tokoh atau pahlawan yang berjasa. Bahkan sang walikota ketika itu, menyambut hangat dan mencium tangan sang mantan narapidana korupsi.

Terjadi pro-kontra atas adegan itu, mengapa seorang pejabat publik sekelas walikota bisa merendahkan wibawanya di depan orang yang telah merampok uang negara ratusan milyar rupiah. Kita bisa bayangkan ratusan milyar jika dibangun infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pertanian, dan sebagainya. Waktu terus berlalu, kasus ‘cium tangan’ itu akhirnya terlupakan.

Dan pada gilirannya, sang walikota bersangkutan di masa akhir jabatannya juga ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Alih-alih merasa bersalah dan memohon maaf, dia melakukan pembelaan diri yang klise. Lebih dari itu, di beberapa kesempatan acara formal pemerintah kota, dia masih saja kerap tampil terdepan padahal sudah tak lagi menjadi walikota, dan berstatus tersangka.

Timbul pertanyaan saya, di mana rasa malu dan rasa bersalah para pelaku koruptor?  

Saya kadang mengangkat topik ini ketika berdiskusi di ruang-ruang non formal. Ada yang setuju, namun kebanyakan dari teman-teman memaklumi karena sikap demikian sudah menjadi budaya untuk saling hormat-menghormati, terhadap koruptor sekali pun.

Barangkali kita memang masih belum matang dalam peradaban. Kita masih memberikan tempat yang layak bahkan perlakuan istimewa bagi para koruptor. Bagi koruptor sendiri, hal yang memalukan bukanlah perbuatan korupsinya, tapi apakah mereka masih diterima lingkungannya.

Perasaan malu adalah aspek emosi, rasa bersalah adalah aspek kognisi yang terkait dengan kemampuan berpikir seseorang. Rasa malu dan rasa bersalah merupakan fenomena yang berbeda tiap budaya. 

Di negara yang peradabannya maju dan tinggi, rasa malu terkait dengan sesuatu yang normatif. Sementara di negara tertentu, termasuk Indonesia, rasa malu dinilai berdasar relasi sosial, bukan benar-salah yang terkandung dalam nilai-nilai hidup. 

Hal itulah mengapa pada banyak kasus korupsi, uang hasil korupsi, banyak dinikmati orang dekat, sehingga tak hanya mendapat dukungan, malah menciptakan loyalis-loyalis koruptor. Pokoknya banyak uang, orang kaya, akan sendirinya mendapat tempat istimewa di lingkungan sosial.

Dan karena itu pula, kita harus merevolusi mental memaknai rasa malu dan bersalah. Kedua hal tersebut tak bisa diajarkan karena bukanlah teori tapi harus dicontohkan sebagai perilaku, yang menujukkan kita terus mengalami peradaban sebagai manusia yang berbudaya.

Salam revolusi mental.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja