Atas Nama Demokrasi?
Pengujung tahun 2020 merupakan momen pesta demokrasi, termasuk di Sulawesi Selatan. Akan berlangsung nyaris serentak di beberapa Kabupaten/Kota untuk mencari pemimpin pengganti Bupati atau Walikota yang tidak dapat mencalonkan lagi karena masa jabatan yang telah dua periode.
Para suksesor yang digadang-gadang untuk mengisi posisi-posisi strategis tersebut memang telah lama muncul di media-media lokal kemudian terjun ke masyarakat konstituen untuk mensosialisasikan dirinya masing-masing, kalau tidak ingin dikatakan aksi mereka sebagai pencitraan. Hal yang lumrah dalam dinamika politik. Mereka dengan percaya diri telah mengaklamasikan siap untuk maju dan mewakafkan dirinya sebagai bentuk pengabdian yang tulus. Itu oke.
Ada fenomena menarik melihat mereka yang akan bertarung dalam pemilihan kepala daerah tersebut, ternyata merupakan orang dekat secara langsung dengan Bupati petahana.
Berpotensi mensuburkan politik kerabat atau dinasti politik. Tidak harus anak kandung, bisa juga sang pemimpin mencalonkan dengan mengusung istri/ suami, adik kandung, atau kerabat dekat yang bertalian langsung. Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Sulsel. Banyak juga Kabupaten dan Provinsi di negara kita menerapkan pendekatan serupa.
Biasanya anak sang bupati untuk meneruskan kiprahnya di tampuk kepemimpinan. Alternatif yang menguntungkan harus segera diambil dan disikapi untuk tetap berada dalam lingkar kekuasaan walaupun bukan secara struktur. Cara paling sederhana adalah dengan mengadang-gadang putra kandungnya untuk dapat menduduki kursi nyaman sang Bapak.
Dalam waktu dekat akan diketahui apakah misi politik tersebut dapat terpenuhi.
Atas Nama Demokrasi
Atas desakan berbagai pihak, pemerintah merespon. Kebijakan pemerintah untuk merancang Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah Pasal 12 huruf p, “calon gubernur ditetapkan jika tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan". Jadi yang dimaksud adalah istri, suami, bapak, adik, kakak, dan anak dari kepala daerah tidak boleh mencalonkan atau dicalonkan.
Larangan itu bukanlah bermaksud untuk memberantas hak politik warga negara, namun hanyalah untuk mengelola kecurangan kepala daerah untuk mendukung kerabatnya yang nyalon.
Seperti kata Thomas Jefferson bahwa: We are not angel, kita bukanlah malaikat, melainkan manusia yang jika berkesempatan, berwewenang, dan berkuasa, berkemungkinan besar terbawa arusnya kekuasaan. Kemudian diperkuat oleh argumen Lord Acton bahwa Power tends to corrupt, but absolute corrupts absolutely. Kekuasaan itu cenderung bersalah guna, makin besar kekuasaanya, makin besar pula kecenderungan salah gunanya.
Tidak ada yang dilanggar dalam konstitusi negara kita terkait fenomena politik kekerabatan tersebut. Semua pihak yang mendukung beralasan itu sah dan legal sesuai formil hukum dan dilaksanakan atas nama demokrasi yang kita pilih sebagai sistem pemerintahan. Era Reformasi tahun 1998 telah memberikan banyak kemajuan termasuk kebebasan sipil dan politik yang merupakan barang langkah sebelumnya.
Namun kita perlu mencermati bahwa perjalanan demokrasi kita masih tertatih dan belum berjalan secara ideal. Demokrasi kita sering kali hanya dikaitkan dengan fungsi memberikan kebebasan dan partisipasi penuh kepada rakyat untuk ikut aktif dalam seluruh proses politik. Demokrasi diidentikan dengan kebebasan dan hak-hak politik rakyat mengenai kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan dipilih dan memilih.
Demokrasi sesungguhnya, sebagi sistem politik (paling baik) yang utuh, demokrasi menuntut ada hal subtansi yang lain dibandingan dengan prosedur, bukan hanya pemilihan langsung. Demokrasi membutuhkan berlakunya kehidupan yang tertib dan aman dalam masyarakat sehingga masyarakat dapat bekerja utnuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan dan mencapai kemajuan.
Komentar
Posting Komentar