Memahami Keistimewaan Yogyakarta

Ada satu ungkapan klasik yang masih dipegang sebagai prinsip: untuk mengakrabi sebuah kota atau negara, ketahuilah sejarahnya. Dengan tahu sejarah, maka ikatan memorial dan ikatan emosional antara kita dengan tempat tersebut akan mampu menembus ruang dan waktu. 

Bagi saya pribadi, mungkin hanya ada dua kota yang selalu nyaman dan membuat saya betah tinggal berlama-lama. Pertama Makassar, kota kelahiran dan tempat menikmati masa kecil, kemudian saat ini tempat bekerja mencari nafkah entah sampai kapan. Keluarga besar yang begitu mewarnai hari-hari saya selama ini juga menetap di ibukota Sulawesi Selatan ini.

Kota kedua adalah Yogyakarta, kota ini dengan segala kenyamanan, kesederhanaan, keramahan, kebersahajaan penduduknya membuat saya tak terasa menetap selama 10 tahun di kota budaya ini untuk bersekolah dan beraktifitas dan terus saja larut dalam setiap nadi kehidupan kota Gudeg.

Keberadaan Keraton Ngayogyakarto dan Pura Pakualaman membuat Yogyakarta dipandang sebagai salah satu pusat budaya Indonesia. Begitu banyak warisan budaya yang ada dan tingkat pendidikan yang unggul, menjadikan kota Yogyakarta menarik perhatian para pendatang dari luar, termasuk saya tentu saja.

Namun dengan segala keunikan dan keistimewaan tersebut, masyarakat Yogyakarta pernah merasa kecewa dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengibaratkan keistimewaan Yogyakarta sebagai bentuk monarki yang bertentangan dengan demokrasi. Ketika itu, rakyat Yogyakarta tak segan akan melakukan perlawanan politik (referendum) jika pemerintah tetap memaksakan konsep pemilihan Gubernur, bukan lagi penetapan.

Pemerintah pusat harusnya menghormati sejarah integrasi Kesultanan dan Pakualaman Yogyakarta ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Aspek latar belakang sejarah dan hukum, serta tuntutan masyarakat Yogyakarta tentang bagaimana keistimewaan Yogyakarta harus dipertahankan sesuai dengan amanat Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VII tanggal 5 September 1945 bahwa Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman adalah Daerah Istimewa dari negara Republik Indonesia. 

Bentuk hubungan dengan pemerintah pusat bersifat langsung dan bertanggung jawab kepada Presiden RI. Sementara urusan pemerintahan di Yogyakarta diserahkan ke tangan Sultan.

Posisi Yogyakarta dan peran Sultan Hamengku Buwono IX pada masa awal kemerdekaan sama sekali tidak bisa dilupakan. Apalagi pada tahun 1946-1949 ibukota RI berada di Yogyakarta. 

Pada saat itu pula Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan secara politis dan memiliki posisi strategis dalam perjuangan dan pertahanan kemerdekaan. Kenapa dulu dipilih Yogyakarta bukan daerah lain? Karena waktu itu Sultan Hamengku Buwono IX memiliki pandangan jauh ke depan dan selalu konsekuen dengan apa yang selalu dikatakannya.

Secara sosiologis keistimewaan Yogyakarta dari waktu ke waktu telah mendapatkan penghormatan, pengakuan dan pengukuhan dari semua lapisan masyarakat, termasuk masyarakat internasional, sejak awal berdirinya Kesultanan Yogyakarta sampai dengan saat ini.

Sementara secara yuridis normatif keistimewaan Yogyakarta sudah ditegaskan dalam 18B ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi: "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang".

Selama ini pula pemerintahan di Yogyakarta telah menerapkan semua prinsip demokrasi demi terselengaranya Good Governance seperti halnya Provinsi lain di Indonesia. Bagaimanapun juga kesultanan adalah bagian dari NKRI, oleh karena itu masyarakat Yogyakarta harus tunduk pada sistem yang dibangun oleh pemerintah pusat. Kedaulatan di tangan rakyat harus juga menjadi kekuatan dalam membangun sistem dan manajemen pemerintah di masa depan.

Harus dipahami secara jelas bahwa posisi Sultan dan Paku Alam bukan dalam konteks kekuasaan politik melainkan pengembangan sosial budaya. Sultan dan Paku Alam harus memberikan pengabdian penuh yang bermanfaat kepada masyarakat Yogyakarta. Biar pun nantinya mungkin Sultan tak lagi jadi Gubernur DIY, pokoknya pengabdian sepanjang hidup.

Kita harus menghormati masyarakat Yogyakarta membangun peradaban dengan kemandirian dan sikap gotong royong yang tidak bergantung pada orang lain. Dan jangan pernah menilai bahwa kesultanan Yogyakarta sama dengan kisah para pangeran dan raja-raja dalam dongeng Cinderella.

Harusnya kita semua beruntung, Indonesia memiliki Yogyakarta dengan segala keistimewaannya.

Salam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja