Refleksi Hari HAM Internasional


Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak dasar yang dimiliki setiap manusia secara alamiah sejak lahir untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengakuan HAM secara internasional meliputi hak kebebasan sipil, hak kebebasan politis, hak kebebasan dari penindasan, hak kebebasan dari penahanan tanpa melalui pengadilan, hak perlindungan sebagai individu yang mempunyai hak alamiahnya yang tidak dapat digugat, dan direbut oleh siapa pun atau dari pihak mana pun.

Pihak lain mengemukakan bahwa HAM merupakan sesuatu yang mutlak perlu bagi perkembangan individu. HAM merupakan sesuatu yang melekat pada semua orang setiap saat, hak yang tidak dapat dibeli ataupun diciptakan, hak yang dimiliki karena semata-mata sebagai manusia yang bermartabat, antara lain hak hidup dan hak kebebasan sehingga harus mendapat perlindungan mutlak.

Atas dasar itu, HAM menjadi suatu konstruksi sosial yang dibangun dari kesadaran bahwa kedudukan manusia sebagai makhluk yang bebas dan berakal harus dijamin oleh negara dan beberapa haknya tidak dapat diganggu gugat.

Pandangan konstruktivis tentang HAM menganggap bahwa HAM merupakan gejala sosial yang dibangun oleh manusia berdasarkan konsepsi moral untuk mendorong visi kemanusiaannya. Gejala sosial itu dijembatani oleh hak dasar yang sudah ada menyertainya. 

Undang-Undang HAM dan konstitusi lainnya juga merupakan implementasi dari teori konstruktivis tentang HAM. Termasuk dalam kategori itu adalah konsensus internasional tentang HAM yang menjadi fakta dan konstruksi sosial yang berpengaruh politis dan dapat dijadikan pembenaran umum untuk mengoreksi pelaksanaan HAM. Di satu sisi pengertian hak dapat menyatukan, di sisi lain dapat memecah belah suatu masyarakat. Hal itu disebabkan oleh perbedaan interpretasi. 

HAM pada dasarnya menjadi suatu konsep pengakuan atas hakikat dan martabat manusia yang dimiliki secara alamiah dan melihat tanpa perbedaan. Diyakini bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat mereka. 

Dalam konteks sosiologis, hubungan manusia dengan sesamanya dijembatani oleh hak yang dibatasi untuk menghormati hak orang lain. Konsepsi HAM membuat perbedaan status, seperti ras, agama, gender tidak relevan secara politis, secara hukum, dan menuntut adanya perlakuan yang sama tanpa memandang status serta kedudukan.

Rhoda E Howard menjelasakn bahwa konsepsi HAM dapat bermula dari kesadaran akan martabat kemanusiaan, kesadaran akan kebutuhan dasar manusia, dan kesadaran terhadap moral kemanusiaan.

Sejarah DUHAM

Pada abad ke-17 mulai dikedepankan kemerdekaan dan kebebasan individu sebagai reaksi terhadap teokrasi-otokrasi yang mendorong revolusi Amerika dan Prancis. Pada abad ke-19 mulai ditekankan aspek kesetaraan di depan hukum yang menempatkan individu sebagai makhluk sosial yang perlu mendapatkan jaminan hukum. Dalam tahap itu hak sebagai individu diberikan kepada masyarakat. Pada abad ke-20 kedua hak itu menjadi satu kesatuan sebagai hak dasar yang kemudian dicatat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Masalah hak dan kebebasan telah dimasukkan ke dalam Deklarasi Kemerdekaan dan Konstitusi Amerika (1776—1789), Konstitusi Polandia (1789), dan Deklarasi Kemerdekaan Prancis (1789). Intinya menekankan bahwa manusia mempunyai hak kebebasan dan hak yang sama di depan hukum. Hak yang dimiliki sejak lahir tidak dapat dirampas oleh kekuasaan negara sekalipun.

Dalam deklarasi itu hak keberadaan manusia dihubungkan dengan hak keberadaan masyarakat dan negara. Deklarasi itu merupakan suatu perjanjian hukum (kontrak sosial) yang memperlihatkan kesetaraan antara hak dan kewajiban individu, masyarakat, dan negara dalam konteks masyarakat kulit putih Amerika Serikat dan Prancis.

Dokumen itu kemudian menjadi landasan bagi munculnya Konstitusi Prancis (1791) dengan tambahan hak ekonomi dan sosial. Namun, dokumen deklarasi itu belum mencakup permasalahan perbudakan dan kerja paksa pada masyarakat di luar komunitas kulit putih di kedua negara jajahan itu. Pada tahap selanjutnya dilahirkan undang-undang yang menjamin hak alamiah dan melarang perbudakan: di Inggris pada 1807 dan di Amerika pada 1865.

Jaminan atas hak dasar manusia kembali dinyatakan oleh H.G. Wells dalam bukunya On the Right Man (1939—1940). Kesadaran itu disambut oleh Presiden Amerika Serikat F.D. Roosevelt (1941), yang menyerukan perlunya kebebasan berbicara, kebebasan beragama, kebebasan dari kemiskinan, dan kebebasan dari rasa takut atau ancaman. 

Implikasi dari konsep HAM adalah bahwa setiap kekuasaan harus dibatasi. Setiap orang mempunyai hak dasar yang tidak dapat diambil oleh suatu kekuasaan, setiap orang dapat menuntut kepada negara untuk menjamin dan melindungi hak dasarnya.

Akan tetapi, semua pemikiran dan dokumen ideal tersebut dilanggar oleh kesewenangan Adolf Hitler yang melakukan tindakan fasis dan diskriminatif pada tahun 1938—1945. Pelanggaran itu mendorong negara sekutu untuk memerjuangkan kembali HAM. Dorongan itu menjadi sarana untuk menumpas fasisme. 

Setelah Perang Dunia (PD) II dan setelah mengadili para penjahat perang di Pengadilan Nurnberg, PBB membentuk DUHAM pada 1948 yang menjadi suatu konsep politik internasional. Sebagai pemenang perang, Amerika Serikat (AS) memelopori HAM untuk dimasukkan sebagai mukadimah dan pasal pertama Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 

Piagam itu menjadi dasar pembentukan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Sebelumnya, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) sepanjang tahun 1919—1939 telah mensponsori beberapa isu HAM, yaitu hak minoritas, hak kaum buruh, hak individu, dan masyarakat di wilayah perwalian suatu negara. Namun, isu itu dianggap belum lengkap dan tidak dapat dijalankan. Bahkan, Piagam PBB (1945) pun tidak menyebutkan HAM secara lengkap sehingga memungkinkan untuk dijalankan.

Studi Peter R Baehr menjelaskan Pada Pasal 1 ayat 3 Pembukaan Piagam PBB disebutkan bahwa salah satu tujuan PBB adalah mewujudkan kerja sama internasional dalam menyelesaikan masalah internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, atau yang bersifat kemanusiaan, HAM, dan meningkatkan serta menjunjung tinggi penghargaan atas hak asasi manusia tanpa membedakan kelas, jenis kelamin, bahasa, atau agama. Pasal itu kemudian digunakan sebagai dasar kesepakatan dalam DUHAM.

Sedangkan menurut A.H Robertson, Piagam PBB merupakan perjanjian pertama yang menjadikan HAM sebagai suatu masalah yang harus mendapat perhatian global yang disebutnya mirip seperti International Bill of Rights. Namun, tugas PBB terbatas pada memajukan HAM dan bukan menjamin, sebagai masalah hukum, bagi semua warga dunia. Akibatnya, piagam itu tidak dapat diimplementasikan.

Proses pembentukan DUHAM dimulai pada Konferensi San Fransisco (1945), yang membuat rancangan HAM untuk dimasukkan ke dalam Piagam PBB, tetapi gagal dilaksanakan. Walaupun demikian, berbagai organisasi kemasyarakatan mendesak banyak pihak. Hasilnya dibentuk komisi HAM yang anggotanya bersumber dari Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. 

Tindakan awal yang dilakukan dewan tersebut adalah mendirikan komisi yang membuat draf undang-undang HAM internasional. Atas dasar itu dan berdasarkan pasal 68 Piagam PBB diputuskan pembuatan rancangan konstitusi kemanusiaan yang ditugaskan kepada Komisi HAM. Komisi itu diketuai oleh Elanor Roosevelt yang dibantu oleh profesor hukum dari Kanada, John Humprey. Mereka bekerja selama dua tahun untuk mencanangkan International Bill of Rights.

Komisi itu melakukan serangkaian kegiatan dengan mendesak memasukan HAM ke dalam Piagam PBB, mendesak semua negara untuk menyetujuinya sebagai suatu resolusi PBB di Sidang Umum PBB. Namun, kembali ketiga rencana itu mengalami kegagalan. Komisi atau panitia perancang draf awal HAM diwakili oleh delapan negara (AS, Sovyet, Australia, Cina, Prancis, Libanon, dan Inggris). Panitia itu bekerja dalam komisi HAM yang bersidang pada Desember 1947 dan 1948 dan membicarakan draf deklarasi.

Setelah berhasil, dokumen tersebut dalam pelaksanaannya hanya berupa deklarasi tanpa kekuatan hukum. Adanya perdebatan mengenai kekuatan hukumnya, menyebabkan deklarasi itu dikembalikan dan akhirnya dibuat oleh Majelis Umum PBB yang tidak mengikat secara hukum sampai menjadi DUHAM pada 10 Desember 1948 di Paris. 

DUHAM ditandatangani 48 negara, kecuali delapan negara abstain dengan alasan tertentu, yaitu Uni Sovyet, Polandia, Chekoslovakia, Yugoslavia, Rumania, Hungaria, Afrika Selatan, dan Arab Saudi.

DUHAM disetujui dan diumumkan PBB lewat resolusi 271 A (III). DUHAM dianggap sebagai ideologi universal pertama di dunia. Sebelumnya, ideologi agama, politik, filsafat, ekonomi, dan kebudayaan memiliki penganut di berbagai bagian dunia. Sebaliknya, DUHAM mempersatukan perbedaan itu karena HAM berdasarkan hukum kodrat yang dianggap lebih tinggi daripada hukum negara dan HAM menekankan bahwa individu memiliki hak dasar yang dibawa sejak lahir dan tidak dapat dihapuskan.

Berdasarkan studi Davies P Freedland bahwa DUHAM juga merupakan penegasan dari Piagam PBB (1945) yang bertujuan melindungi hidup, kemerdekaan, keamanan pribadi, kebebasan berpendapat, berkumpul, berkeyakinan, dan memproses pelanggaran HAM dari semua individu masyarakat dan negara. Kodifikasi DUHAM menunjukkan keinginan untuk menginternasionalkan HAM dan memanusiakan hukum internasional.

Akan tetapi, dalam kenyataannya upaya tersebut sering bersinggungan dengan berbagai kepentingan. DUHAM kembali tidak berdaya ketika terjadi Perang Korea (1951), berdirinya Tembok Berlin (1961), Perang Vietnam (1960—1975), dan intervensi AS pada beberapa negara di Amerika Latin dan Timur Tengah (2000). 

Dalam konteks itu, pihak Barat (AS dan sekutunya) dianggap pilih kasih hanya menindak rezim yang dianggap lemah. Namun, rezim Stalin, Khruschev, Brezhnev, dan beberapa rezim militer di Amerika Latin dibiarkan. Bahkan, AS melakukan pelanggaran HAM secara terang-terangan dalam Perang Vietnam. HAM akhirnya kembali bangkit dalam bentuk konvensi dari 35 negara di Helsinki pada tahun 1975.

Terdapat dua perbedaan mengenai DUHAM dari pihak Barat dan Uni Sovyet. Pihak Barat lebih menekankan pada hak sipil dan politis, sedangkan pihak Uni Soviet lebih menekankan pada hak ekonomi dan masyarakat. Kedua pandangan itu beralasan sebab DUHAM dalam kacamata Barat, didasari oleh kesadaran HAM yang lebih dulu berkembang di wilayah masyarakatnya. Sementara itu, hak ekonomi dan sosial merupakan bagian dari perjuangan yang dilakukan oleh Uni Soviet dalam menumbangkan rezim Tsar. Dengan kata lain, pihak Uni Soviet lebih memberikan jaminan ekonomi dan masyarakat yang menjadi dasar perjuangan dan legitimasi mereka daripada jaminan untuk HAM.

DUHAM merupakan suatu keinginan yang ekspansif untuk memersatukan dunia dengan membuat suatu daftar pedoman bagi semua pemerintah. Sebelumnya LBB tidak dapat berjalan karena keanggotaannya dipersulit dengan memaksakan sistem konsepsi kenegaraan model demokrasi Barat yang ingin diterapkan pada calon anggotanya. 

Dengan kata lain, HAM dijadikan kriteria untuk menentukan keanggotaan LBB. Ada bentuk pemaksaan dan ancaman dari negara Barat yang diterapkan kepada negara yang dianggap melanggar HAM. Ancaman itu berkenaan dengan hambatan dalam kerja sama ekonomi. Pemaksaan dan ancaman itu sebenarnya melanggar DUHAM itu sendiri dan juga melanggar hak asasi suatu negara. Akan tetapi, dalam kasus Resolusi 41/128 pada Sidang Umum PBB, ancaman dan sanksi itu disepakati oleh banyak negara anggotanya. Keputusan itu kemungkinan juga karena negara dunia ketiga mendapat ancaman dari negara maju.

Pemikiran tentang kebebasan dan kemerdekaan yang terdapat dalam pandangan Barat yang juga terdapat dalam DUHAM menjadi alat pembenaran (justifikasi) dan penilaian terhadap negara dan masyarakat yang berbeda dengan mereka. Pandangan seperti itu dianggap sebagai bagian dari konteks modernitas. Sebaliknya jika suatu masyarakat tidak melaksanakan HAM, menurut mereka akan dikategorikan sebagai negara yang masih tradisional, terkungkung oleh sistem nilai budaya dan politik statis yang tidak menghargai HAM. 

Sejak perjanjian Westphalia (1648) sampai PD II (Piagam PBB dan DUHAM) belum ada model yang lengkap untuk menanggulangi pelanggaran HAM di tingkat regional, apalagi internasional. Sejauh ini DUHAM dan konvensi yang lain hanya perjanjian yang tidak mengikat. Realisasi DUHAM masih jauh dari sasaran dan harapan. Implementasi ketiga puluh pasalnya belum terpenuhi. Sampai tahun 1999 masih banyak negara yang belum meratifikasinya, termasuk AS.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja