Mengenal KPPU, Pengawas Persaingan Usaha

Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) termasuk lembaga yang dibentuk paska reformasi. Pembentukan KPPU juga tidak dapat dilepaskan dari tekanan yang datang dari dalam maupun luar negeri.

Perjanjian yang dilakukan Dana Moneter Internasional (IMF) dengan Pemerintah RI pada 15 Januari 1998 diyakini sebagai dasar pembentukan lembaga KPPU. Dalam perjanjian itu, IMF menyetujui pemberian bantuan keuangan kepada Negara Republik Indonesia sebesar $ 43 miliar, yang bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi. Dengan syarat Indonesia melaksanakan reformasi ekonomi dan hukum ekonomi. Hal ini menyebabkan diperlukan Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha yang Sehat.

Dapat pula dikemukakan alasan filosofis dan sosiologis dari pembentukan lembaga KPPU. Alasan filosofis bahwa dalam mengawasi pelaksanaan suatu aturan hukum diperlukan lembaga yang mendapat kewenangan dari negara yang mampu bertindak independen. 

Alasan sosiologis diyakini karena rendahnya tingkat kepercayaan pengadilan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, serta beban perkara pengadilan yang jumlahnya sudah sangat banyal sehingga sangat sulit ditangani secara maksimal dalam jangka waktu yang terbatas. 

Alasan lain dunia usaha membutuhkan penyelesaian yang cepat dan proses pemeriksaan yang bersifat rahasia. Oleh karena itu diperlukan suatu lembaga khusus yang terdiri atas orang-orang yang ahli dalam bidang hukum dan ekonomi. 

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang juga sebagai inisiator pada 5 Maret 1999 mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam undang-undang tersebut tercantum jelas aspek-aspek terkait larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, serta terbentuknya lembaga pengawas persaingan usaha, yaitu KPPU. Setelah UU. No. 5 Tahun 1999 disahkan, presiden kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)

KPPU dibentuk sebagai suatu lembaga yang secara khusus mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Pasal 30 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa ‘untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha’. Dalam hal ini KPPU bertindak sebagai lembaga kuasi yudikatif. 

Pembentukan KPPU diharapkan dapat menyelesaikan kasus pelanggaran hukum persaingan usaha dengan lebih cepat, efisien, dan efektif, sesuai dengan asas dan tujuannya. 

Namun status kelembagaan KPPU dalam konteks ketatanegaran masih saja dipersoalkan meskipun sudah 18 tahun berdiri. Status kelembagaan menghambat KPPU untuk berkembang menjadi lembaga negara yang efektif. KPPU bukan merupakan lembaga negara utama, atau biasa yang disebut dengan lembaga yang bersifat menunjang atau auxiliary.  Pasal 1 Ayat (2) Keppres No. 75 Tahun 1999 mengatur bahwa, KPPU merupakan lembaga non-struktural yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain.

Pada awal pendirian, KPPU merupakan bagian dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan, hal tersebut dapat disimpulkan dari anggaran yang disediakan bagi KPPU merupakan bagian dari anggaran yang dimiliki Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Namun kedudukan tersebut tidak berpengaruh terhadap independensi KPPU dalam menjalankan tugasnya.

Salah satu ciri yang melekat pada lembaga negara independen adalah, lembaga yang berhak mengatur dirinya sendiri atau dikenal dengan istilah self regulatory bodies. Kewenangan untuk mengatur dirinya dengan mengeluarkan sebuah produk, seperti keputusan, peraturan,dan sebagainya. Lembaga negara independen tentu harus memiliki kewenangan mengatur dirinya untuk menghindarkan ketergantungan lembaga negara ini terhadap lembaga lain.

Tidak semua lembaga negara merupakan lembaga independen. Seperti yang diungkapkan  William F. Fox Jr, bahwa suatu komisi negara adalah independen bila dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam undang-undang komisi yang bersangkutan, atau bila presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan (discretionary decision) pemberhentian sang pimpinan komisi.  

Independensi KPPU ditentukan secara tegas Pasal 30 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 yang mengatur bahwa Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain. Selain itu presiden juga tidak dapat mengangkat dan memberhentikan anggota KPPU tanpa dasar yang kuat, karena harus mendapatkan persetujuan DPR terlebih dahulu, peran presiden hanya dapat mengajukan usulan.

Selain dari intervensi Presiden, Funk dan Seamond menambahkan sifat independen lembaga negara juga tercermin dari : 

  1. Kepemimpinan yang kolektif, bukan seorang pimpinan;
  2. Kepemimpinan tidak dikuasai atau mayoritas berasal dari partai politik tertentu;
  3. Masa jabatan para pemimpin komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian (staggered terms).

Dari Indikator yang disebutkan Funk dan Seamond, maka indikator pertama terpenuhi, kepemimpinan di KPPU adalah kolektif kolegial. Indikator kedua juga dapat terpenuhi karena walaupun pemilihan dilakukan oleh DPR, namun DPR hanya berwenang memilih calon yang telah diajukan oleh Presiden setelah dilakukan rangkaian seleksi anggota KPPU. Untuk indikator ketiga belum terlaksana, karena semua pimpinan diangkat secara bersamaan di awal pembentukan dan diberhentikan ketika periode masa jabatannya telah selesai.

KPPU merupakan lembaga negara bantu yang bersifat independen, tapi tidak langsung meniadakan kewenangan lembaga negara utama dalam mengawasi pelaku usaha terkait dengan UU. No. 5 Tahun 1999. 

Knapp dan Many dalam kajian menemukan bahwa keberadaan lembaga negara bantu seperti KPPU merupakan suatu perkembangan dalam otonomi administrasi dan merupakan bagian yang terpisah dari tiga cabang kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesqieu atau biasa disebut fourth branch of the goverment.  Hal tersebut dikarenakan fungsi yang dimiliki oleh lembaga negara bantu tersebut memang dirasa berbeda dari ketiga cabang kekuasaan tersebut, maka harus ada satu cabang kekuasaan baru yang dapat menampung fungsi lembaga negara bantu tersebut.

Adanya kewajiban membuat pertanggungjawaban kepada Presiden menyebabkan keraguan mengenai independensi pelaksanaan tugas KPPU. Namun hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai justifikasi bahwa KPPU tidak independen, karena masih harus dibuktikan dalam praktiknya saat melaksanakan tugas. 

Selain itu usaha untuk menjaga independensi anggota KPPU dalam melaksanakan tugasnya, telah dilakukan dengan langkah-langkah preventif seperti yang tercantum dalam salah satu syarat keanggotan KPPU yaitu tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha dan partai politik tertentu. Saat menangani perkara juga demikian, anggota KPPU dilarang untuk mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan salah satu pihak yang berperkara serta mempunyai kepentingan dengan perkara yang bersangkutan. 

Pemberian pertanggungjawaban kepada Presiden juga menggambarkan bahwa fungsi KPPU sebagai lembaga negara bantu merupakan bagian dari lembaga negara utama kekuasaan eksekutif, yaitu lembaga Kepresidenan. Hal tersebut juga dapat dilihat berdasarkan pembiayaan kegiatan KPPU di awal terbentuknya menggunakan bagian dari jatah anggaran Departemen Perindustrian dan Perdagangan.

Hal lain yang menunjukkan fungsi KPPU hanya sebagai bagian tidak terpisahkan dari cabang kekuasaan eksekutif adalah, walaupun KPPU juga memiliki kewenangan quasi yudikatif, namun kewenangan tersebut tidak serta merta membuat KPPU memiliki kewenangan yang melebihi kewenangan lembaga eksekutif lainnya, karena kewenangan KPPU untuk memutus dan menjatuhkan sanksi terbatas pada sanksi administratif. Independensi KPPU dalam melaksanakan tugas tidak membuat KPPU menjadi lembaga yang berdiri sendiri tanpa bersandar pada lembaga negara utama mana pun.

KPPU sebagai institusi yang diberi mandat untuk menegakkan persaingan usaha sehat di Indonesia memiliki kapasitas yang sangat terbatas untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang kondusif, jika tidak didukung oleh pihak pemerintah lainnya, terutama regulator di sektor ekonomi. KPPU memang sering memberikan saran dan pertimbangan bagi kebijakan/regulasi di berbagai sektor, demi terpeliharanya kesempatan bersaing yang sehat. Akan tetapi, saran dan pertimbangan ini sering kali kurang diakomodasi pemerintah, sehingga banyak regulasi yang tetap memberikan konsekuensi negatif bagi persaingan usaha di sektor tersebut.

Berdasarkan tipe dan fungsi administrasinya, komisi negara independen dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu kesatu, badan pengatur dan pengawasan; kedua, badan pengawas pelayanan publik, dan; ketiga, badan yag terlibat dalam productive activities. Yang berfungsi mengatur dan mengawasi hanya ada pada level nasional atau pemerintahan federal saja, sehingga sebagaimana di Amerika Serikat disebut juga the headless fourth branch of the government.  

Komisi negara independen berbeda dengan komisi negara biasa (state commissions). Menurut Michale R Asimov, komisi negara biasa hanyalah bagian dari eksekutif, dan tidak mempunyai peran yang terlalu penting.  Pendapat tersebut sejalan dengan definisi Misiroglu yang mengatakan bawa, komis negara independen di Amerika Serikat- adalah lembaga negara federal yang tidak termasuk cabang kekuasaan  eksekutif, dan karenanya tidak berada di bawah kontrol presiden.  

Asimov menambahkan yang dimaksud dengan independen berkait erat dengan pemberhentian anggota komisi yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-undang pembentukan komisi yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazimnya komisi negara biasa yang dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden, karena jelas-jelas merupakan bagian dari eksekutif. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja