Kartel adalah Kejahatan Ekonomi


Salah satu tujuan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah untuk menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil melalui suatu pengaturan persaingan yang sehat guna tercapainya efisiensi ekonomi dan kesejahteraan rakyat. 

Persaingan yang efektif mendorong bisnis untuk maju, pelaku usaha berusaha untuk memenangkan konsumen. Sebagai konsekuensinya, konsumen dapat memperoleh manfaat langsung dari kualitas yang lebih baik dengan harga yang lebih murah.

Praktik kartel merusak mekanisme tersebut dan menyebabkan dampak buruk pada perekonomian. 

Ketika pelaku usaha telah menyepakati harga, dan membagi wilayah pasar di antara mereka sendiri atau mengoordinasikan syarat dan ketentuan utama, sehingga persaingan dihilangkan sehingga merugikan konsumen. Dalam kasus seperti itu, harga dan kualitas tidak lagi ditentukan oleh penawaran dan permintaan, tetapi oleh perjanjian kartel konspiratorial. 

Kartel merupakan perjanjian di antara para pelaku usaha mengenai hal-hal yang akan mereka lakukan atau hal-hal yang tidak akan mereka lakukan.  Secara lebih detail, Arthur Sullivan mengemukakan bahwa, “A cartel is a formal (explicit) agreement among competing firms. It is a formal organization of producers and manufacturers that agree to fix prices, marketing, and production.” 

Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 dapat dikonstruksikan bahwa definisi kartel adalah perjanjian horizontal untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 

Karakteristik kartel antara lain terjadi karena konspirasi antar-pelaku usaha, penggunaan asosiasi, distribusi informasi kepada para anggota, pelibatan eksekutif senior, adanya mekanisme kompensasi bagi para anggota kartel, dan pelaksanaan penetapan harga.

Berdasarkan pandangan Severova dan Bendl sebagaimana dikutip Dwi Andrea bahwa kartel adalah struktur pasar yang terbentuk akibat perilaku oligopoli kolusif. Oligopoli kolusif  adalah model pasar ologopolistik di mana beberapa pelaku usaha memperoduksi atau jasa yang sama atau mirip dan melakukan monopoli di pasar. 

Perjanjian dibuat di antara pelaku-pelaku usaha oligopoli yang menguasai bagian terbesar pasar. Perjanjian dalam bentuk kerja sama dan aksi bersama tersebut kemudian memunculkan struktur pasar yang disebut kartel. Perjanjian kartel meliputi harga produksi yang sama dan bersifat monopolistik, kuantitas produksi, dan pembagian teritorial pasar. Kartel cenderung untuk menaikkan harga atau membatasasi kuantitas produksi untuk memaksimalkan  keuntungan. 

Perjanjian kartel dalam UU. No. 5 tahun 1999 dirumuskan dengan metode rule of reason, dapat diartikan pelaku usaha dapat membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa asalkan tidak mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Kartel merupakan kejahatan ekonomi yang luar biasa. Membuat lapisan masyarakat miskin yang menjadi semakin miskin; mematikan pelaku usaha lainnnya dalam pasar bersangkutan. Kartel menutup kesempatan pelaku usaha yang mengedepankan etika bisnis. Kartel telah menghilangkan prinsip pasar persaingan sehat, seperti bebas masuk dan keluar dari pasar, terdapat banyak pelaku usaha di mana tidak satu pun pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang mampu memengaruhi harga (price taker), dan informasi yang diterima pelaku usaha bersifat simetris.

Untuk mendapatkan pasar, seringkali para pelaku pasar menggunakan cara yang dapat menimbulkan distorsi terhadap mekanisme pasar. Biasanya hal tersebut dilakukan dengan menciptakan hambatan dalam persaingan untuk mencegah terjadinya persaingan yang wajar sehingga menimbulkan kerugian dalam kegiatan usaha, terutama bagi para pihak yang berkaitan langsung dengan bidang usaha yang bersangkutan. 

Kartel dapat dikategorikan ke dalam bentuk hambatan yang bersifat horizontal. Mark Furse dari Universitas Glasgow, UK, menyatakan bahwa tidak ada legitimasi untuk dapat membenarkan perilaku demikian. Lebih lanjut Mark menjabarkan bahwa negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sudah memiliki definisi tegas tentang ‘hard core cartel’, yaitu sebagai “..anti competitive agreement by competitors to fix prices, restrict output, submit collusive tender, or divide or share markets.” 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja