Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan Abad ke-21


Buku lawas berjudul Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (2006) yang ditulis oleh Irwan Abdullah, Guru Besar Antropologi UGM. Menurut Irwan sendiri bukanlah suatu karya utuh sebagai kajian yang berfokus, yang dibangun dengan landasan konseptual yang mapan dan hadir dengan analisis yang tajam.

Karya ilmiah yang disusun sebagai bunga rampai atau kompilasi yang menjadi koleksi pikiran yang tersebar yang dikumpulkan dari berbagai tempat dan berbagai waktu, dan tentu saja dengan berbagai tingkat ketajaman. Ditulis di bawah tekanan panitia seminar atau di bawah ancaman deadline media cetak.

Namun meski demikian ulasan-ulasan kebudayaan kontemporer yang dijelaskan Irwan Abdullah sejak awal abad ke-21, dari persoalan mengenai globalisasi, bahasa, agama, konflik, persekusi, pornografi, gender, hingga pemberdayaan dan menstruasi perempuan diuraikan cukup baik dengan bahasa-bahasa sederhana yang mudah dipahami oleh pembaca segala kalangan.

Secara garis besar buku ini menjabarkan kebudayaan sebagai sistem simbol yang mengandung empat persoalan penting, yakni:

  1. Batas-batas dari ruang budaya yang memengaruhi pembentukan simbol dan makna yang ditransmisikan secara historis;
  2. Batas-batas dari kebudayaan tersebut yang menentukan konstruksi makna dipengaruhi oleh hubungan kekuasaan yang melibatkan sejumlah aktor;
  3. Pola hubungan kekuasaan yang membentuk identitas kelompok dan kelembagaan;
  4. Identitas yang terbentuk melalui serangkaian simbol menjadi diskursus.

Kebudayaan telah menjadi kompas dalam perjalanan hidup manusia, ia menjadi pedoman dalam tingkah laku. Usaha merajut kebudayaan telah berlangsung dalam suatu ruang yang penuh dengan kepentingan para pihak yang turut mengambil bagian dalam proses itu.

Identitas kita, nilai pribadi, dan subjektifitas sedang mengalami proses transformasi, yang semua merupakan tanda bahwa kita sedang berada dalam era kehidupan baru. Menemukan pasangan hidup, sebagai contoh terkecil, dunia tanpa batas dapat dilihat dari calon pengantin bisa dari desa tetangga, tidak lagi harus dicari hanya dari dalam desa sendiri;

Konsep globalisasi yang memenuhi banyak ulasan karena merupakan faktor mendasar transformasi masyarakat yang ditujukan untuk menjelaskan berbagai fenomena periode kapitalisme akhir dewasa ini, berkaitan dengan persoalan nasionalisme, orientasi kebudayaan, dan tatanan sosial. 

Bahasa sebagai satu identitas nasional yang tercantum dalam konstitusi rupanya makin hari makin memprihatinkan eksistensinya. Bahasa-bahasa di Indonesia yang berjumlah 700 lebih bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai kepribadian, karena di dalam bahasa yang beragam itu tersimpan sopan santun dan tata kelakuan yang berbeda-beda. Bahasa yang kaya dengan ekspresi budaya semakin hari mengalami kemunduran dalam jumlah penuturnya, dan juga dalam percakapan di daerah asalnya.

Tranformasi sosial bidang agama juga banyak disorot Irwan. Ia berpandangan agama cenderung dipahami dari luar, dari citra yang dibentuk oleh pasar sehingga ia bersifat estetis. Sementara itu, nilai-nilai etis dalam pembentukan blue print bagi praktik kehidupan kurang berpengaruh. Apa yang dikemukakan Irwan satu setengah dekade silam ternyata semakin terbukti sampai sekarang, 2020.

Irwan juga tepat saat memproyeksikan fenomena konsumsi masyarakat sebagai suatu proses globalisasi. Menurutnya faktor konsumsi penting diteliti karena ia merupakan bentuk dalam siklus, yang di dalamnya dapat diidentifikasi, dan dapat menjadi ciri-ciri kepribadian, tanda identitas, dan tanda hubungan antar pribadi dan kewajiban-kewajiban yang khusus.

Makanan, contoh sederhana, kini semacam simbol kehidupan modern di kalangan kelas menengah kota. Bukan hanya pemenuhan kebutuhan dasar, sudah dianggap sebagai bagian dari rekreasi dan atualisasi diri.

Globalisasi kini mengandalkan kaum atau generasi muda sebagai agen penting dalam proses peradaban, khususnya karena melalui anak mudalah unsur-unsur baru dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam suatu masyarakat. Agen dalam pembentukan kebudayaan konsumen. Kaum muda juga merupakan pasar yang potensial bagi produk global yan tak terbatas jumlahnya ditawarkan.

Pada akhirnya kita mulai memahmi pembentukan pengetahuan dan kebudayaan dalam globalisasi menjadi bervariasi dan terdiferensiasi. Dalam proses ini setiap orang dihadapkan dengan begitu banyak pilihan, sehingga persoalan berikutnya adalah apakah seseorang benar-benar mengetahui apa yang dia butuhkan?

Ritme kehidupan semakin hari terasa semakin cepat dengan tempo yang semakin tinggi. Di tengah begitu banyak pilihan, kita sudah seharusnya lebih rendah hati, jauh lebih selektif, dan selalu mengajukan pertanyaan yang tepat.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja