Multiperspektif dalam HAM Internasional (1)


Dalam perspektif internasional, sejatinya HAM baru dikenal setelah PD II, bahkan HAM kemudian dijadikan instrumen dalam interaksi antarnegara ketika dilakukan pengadilan penjahat perang setelah PD II di Nurnberg. 

HAM dikenal sebagai suatu mekanisme dalam melawan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 6 (c) Piagam Nurnberg dalam hukum Internasional mengatur bahwa negara dapat dikenakan hukuman oleh pengadilan mana pun atas perbuatannya mengesahkan kejahatan terhadap rakyatnya. 

Pengadilan dan Piagam Nurnberg telah mendorong DUHAM pada 10 Desember 1948 di Paris. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya deklarasi itu terhambat karena perang dingin antarblok. Pada era perang tersebut dua blok yang bertikai (AS dan Soviet) sama-sama mendukung rezim militer di berbagai kawasan dunia dan DUHAM harus menyerah pada kepentingan politis.

Untuk menanggulangi pelanggaran HAM dalam konteks internasional, telah dibentuk beberapa institusi, seperti Komisi HAM PBB dengan beberapa subkomitenya. Sampai pertengahan tahun 1990, PBB mencatat 32 perjanjian HAM. Dalam perjalanannya, konvensi, traktat, dan protokol yang sudah dihasilkan oleh PBB tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Pelanggaran HAM kerap kali terjadi.

Atas dasar itu, sering diadakan pertemuan, lobi, dan konferensi HAM tingkat regional dan internasional. Pada 1968 di Teheran, Iran, diadakan konferensi HAM yang melihat bahwa HAM makin terabaikan. Konferensi itu dilanjutkan dalam serangkaian pertemuan lainnya. Sampai akhirnya oleh Majelis Umum PBB pada 18 Desember 1992 disahkan suatu resolusi penetapan untuk segera mengadakan konferensi HAM tingkat dunia yang diselenggarakan di Wina, Austria pada 14—25 Juni 1993, yang kemudian dilanjutkan pada 1997 dan 2002.

Konferensi tersebut memutuskan: (1) HAM bersifat universal, (2) masyarakat internasional harus memelihara HAM, (3) mempertimbangkan kemajemukan budaya, sosial, dalam pelaksanaan HAM, (4) setiap negara dituntut untuk menjamin HAM tanpa berlindung di balik relativisme, dan (5) negara maju perlu membantu negara yang sedang berkembang tanpa melanggar HAM.

Sampai akhir abad ke-20 perjuangan HAM mengalami naik turun. Salah satu kendalanya adalah para anggota PBB yang sulit untuk dituntut meratifikasi beberapa keputusan konvensi yang ada. Padahal, ratifikasi juga menjadi bagian dari sistem negaranya. Akan tetapi, kendala lain ada perbedaan pandangan antara presiden di suatu negara dan anggota parlemennya tentang suatu konvensi yang telah ditandatanganinya.

Menurut Wilfred, HAM baru menjadi suatu yang berharga dan berperan ketika ditempatkan pada konteks proses historis dan tradisi perlawanan, yakni perlawanan terhadap rezim kolonial, rezim fasis, rezim komunis, rezim militer, rezim otoritarian-totalitarian, rezim korporat dan rezim negara pembangunan. Jika konteks dan kondisi tersebut melemah, proses penegakan HAM pun menjadi melemah.

HAM dalam sejarah selalu bersejajar dengan agama. Gagasan dasar yang dapat menghubungkan HAM dengan beberapa agama adalah martabat manusia. Prinsip etis dasar HAM dan agama adalah sama, yaitu bahwa martabat kemanusiaan tidak dapat diambil oleh orang lain. 

Ketika pihak yang dominan dan mempunyai kekuasaan hegemoni memaksa lainnya, HAM kemudian cenderung menuju pada pemaksaan. Tindakan itu seakanakan ingin memperadabkan pihak lain yang masih hidup dalam kondisi pratradisional, persis seperti tugas para misionaris imperialistik pada zaman kolonial Barat, demikian studi Biefeldt.

Hal ini menjadi ekses negatif yang tidak dapat dihindari sebab HAM juga dapat menjadi komoditas, walaupun awalnya sangat ideal untuk menjunjung martabat kemanusiaan. Namun, setelah terinflitrasi dengan unsur politis, ekonomis, sosial, dan budaya, unsur idealnya terlupakan. Bahkan, HAM dijadikan legitimasi bagi negara kuat untuk mengadakan intervensi atas dasar kemanusiaan.

Pada 1980-1990, HAM sering dijadikan alat penekan oleh politik luar negeri dari negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Beberapa negara yang dianggap melanggar HAM ditekan dengan berbagai cara, seperti embargo, pembatasan kuota, kritik langsung, sampai invasi militer jika diperlukan. HAM menjadi senjata moral mereka dalam berinteraksi dengan negara di luar Eropa Barat dan Amerika Serikat.

Konsepsi ini didasarkan pada pemikiran liberalisme dan misi moral yang terdapat pada bangsa Amerika Serikat dan Eropa Barat. Dalam konsep ini terkandung bahwa HAM adalah hak yang melekat pada seseorang sejak mereka lahir. Siapa pun tidak dibenarkan untuk menghambat atau mencabut hak orang lain. Setiap orang harus menghormati hak orang lain demi kesadaran dan peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan, tanpa melihat perbedaan fisik, ras, agama, gender, masyarakat, ekonomi, politik, dan budaya (Hartz 1955: 2—5). Pada era Presiden Jimmy Carter (1977—1981), HAM menjadi kebijakan politik luar negerinya dalam mengadakan hubungan dengan negara mana pun. Aspek HAM menjadi perhatian utama yang ditanyakan dan ditawarkan oleh pihak AS. Dengan demikian, HAM dan demokrasi menjadi opini dan wacana dunia, bahkan menjadi proyek global dari negara Barat dalam menjalin hubungan dengan negara lain, termasuk Indonesia. HAM menjadi senjata moral mereka untuk menekan kebijakan dalam negeri yang berhubungan dengannya.

Dua Pandangan dalam HAM Internasional

Terdapat dua pandangan dalam perspektif HAM internasional. Pertama, pandangan kubu radical cultural universalism yang dianggap diwakili oleh negara Barat. Kedua, kubu radical cultural relativism atau yang juga dikenal sebagai kubu partikularis, yang diwakili oleh negara dunia ketiga. Kubu pertama menganggap bahwa individulah yang menentukan haknya, juga hak masyarakat dan negara berdasarkan konvensi.

Pihak lain berpandangan bahwa kebudayaan merupakan pedoman yang mengatur hak masyarakatnya. Menurut kubu kedua, keragaman budaya adalah suatu hak pilihan untuk berbeda dengan masyarakat dan budaya lain, menurut aktivis Howard. 

Kekuasaan negara yang meliputi politik budaya setempat menjadi acuan yang menentukan hak individu, masyarakat, dan negara itu sendiri. HAM, menurut kubu kedua tersebut, tidak dapat diwujudkan secara universal di tiap negara dan pemerintah karena adanya kendala keyakinan pandangan tersebut.

Jadi, kedua pandangan itu tidak pernah bertemu karena berbeda dalam cara melihat hak individu, masyarakat, dan negara masing-masing. Donnelly dan Rhoda menekankan bahwa individu dalam masyarakat modern sangat membutuhkan perangkat HAM karena HAM merupakan bentuk kesadaran modernis. 

Akan tetapi, pada zaman modern, ternyata konsep relativisme budaya dan partikularisme menolak adanya kesadaran individu yang berkaitan dengan HAM. Padahal, sebagai negara modern perangkat kontrol merupakan salah satu bagian dari kesadaran modern itu sendiri. Jadi, banyak negara yang baru melepaskan diri dari kolonialisme atau negara yang termasuk rezim militer dan sosialis, seperti di Amerika Selatan dan Eropa Timur, menafikan kesadaran dan keberadaan individu yang mempunyai hak untuk mengontrol dan berpartisipasi dalam politik pemerintahan. 

Barometer itu dapat dilihat dari apakah hak politik individu atau masyarakat dikebiri oleh pemerintah setempat. Jika hak itu diintervensi dan dihambat, berarti ada pelanggaran HAM, termasuk hak warga negara yang masih didiskriminasikan sebagai bekas tahanan politis. 

Ditekankan oleh Donnelly dan Rhoda bahwa kekuasaan sangat jarang memerhatikan HAM, bahkan tidak ada sistem pemerintahan, rezim politis dan pemikiran yang berani menjamin HAM. HAM akan selalu diguncang oleh kekuatan negara. Salah satu bentuk tugas dan peran lembaga HAM adalah mengontrol negara dalam menjamin HAM dalam masyarakatnya.

Relativisme budaya menganggap bahwa tidak ada satu budaya pun, adat istiadat, dan keyakinan yang mendominasi budaya lain dalam pengertian moral. Mereka menganggap bahwa HAM tidak relevan untuk budaya yang tidak menganut adat istiadat karena berasal dari keyakinan dan nilai Barat. Relativisme budaya merupakan suatu pandangan yang memersepsikan gejala sosial budaya dari perspektif para penganut budaya yang bersangkutan. Dengan kata lain, itu menjadi suatu pandangan dalam pemertahanan budaya dari gempuran luar yang dominan.

Adamantia Pollis dan Peter Schwab, tokoh relativis budaya, menolak HAM universal sebab hak sipil dan politis tidak bermakna bagi sebagian masyarakat di luar dunia Barat. Menurut mereka, alasan perjuangan gerakan HAM universal, adalah hak tersebut tidak dihargai dan diterima sebagai prinsip universal. 

Bahwa setiap masyarakat pada dasarnya sudah memiliki kerangka acuan tentang hak mereka yang terdapat dalam tradisi dan kebudayaannya. Dengan demikian dalam masyarakat yang berbeda terdapat konsepsi HAM yang berbeda pula. Akibatnya semua sistem keadilan sosial, moralitas, dan martabat manusia yang terdapat dalam kebudayaan tertentu dapat dipandang sebagai sistem HAM.

Kritik relativisme terhadap HAM universalisme sama dengan kritik dan pandangannya terhadap modernisme, liberalisme, individualisme, kapitalisme, dan imperialisme Barat. Sementara itu, kritik kaum universalisme terhadap kaum relativisme yang cenderung berada di belakang budaya, menganggap pandangan mereka itu represif, diskriminatif, tidak bebas, ekslusif, dan homogen. Menurut pandangan universalisme, jika suatu perubahan cenderung berproses dengan sehat memungkinkan seseorang dapat memilih dan menjadi dinamik. Masyarakat yang berubah menunjukkan kemajuan. Sebaliknya, masyarakat tradisional adalah masyarakat yang statis.

Dari dua pandangan tersebut dapat dilihat bahwa kubu relativisme menggunakan latar sejarah dan kebudayaan untuk dijadikan dasar justifikasi dan pembenaran sepihak dari negara yang sebenarnya menolak beberapa ketentuan yang disepakati. Dengan kata lain, mereka selalu berlindung di balik kerelatifan budayanya masing-masing. 

Di samping itu, HAM seakan dipaksa menjadi kebudayaan global yang harus berhadapan dengan kebudayaan lokal, akibatnya sering terjadi konflik kepentingan. Jika kebudayaan lokal tersebut didominasi oleh suatu rezim baik suatu etnik, ekonomi, budaya, dan militer, HAM sebagai kebudayaan global akan sulit untuk dioperasionalkan.

Diketahui bahwa banyak negara belum meratifikasi berbagai konvenan yang telah disepakati bersama mengenai berbagai aspek penjagaan terhadap HAM. Ditambah lagi dengan munculnya sikap kontradiktif dalam penyelenggaraan HAM di dunia ketiga. Mereka menganggap bahwa konsepsi kemanusiaan dan kemasyarakatan yang terdapat dalam berbagai konvensi HAM bersifat relatif. Mereka menganggap bahwa konsepsi itu memerlihatkan pandangan dominasi negara Barat sehingga tidak dapat diterapkan di berbagai negara yang berbeda kebudayaannya.

HAM, dalam perkembangannya, telah melewati tiga periode, yaitu masa kesadaran (1948—1950-an), masa pertumbuhan (1960—1980), masa penegakan (1990—2000). Pihak lain melihat perkembangan HAM dalam babakan generasi. Generasi Pertama muncul pada DUHAM (1948), generasi kedua muncul ketika lahir Konvenan Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada tahun 1966. 

Sintesis antara HAM generasi pertama dan kedua terdapat dalam HAM generasi ketiga yang menekankan aspek HAM dalam pembangunan (the rights to development), khususnya HAM untuk negara dunia ketiga atau negara yang sedang membangun. Gagasan HAM generasi ketiga dimunculkan pada konferensi HAM Afrika yang menghasilkan Piagam Afrika pada tahun 1980. Dalam konferensi itu, muncul isu bahwa kemiskinan merupakan suatu kewajiban yang mendasar untuk diperjuangkan oleh LSM Developmentalis. 

Selanjutnya, muncul HAM generasi keempat pada 1983 yang disponsori oleh negara di kawasan Asia yang melahirkan Declaration of the Basic Duties of Asia People. Deklarasi itu menekankan peranan pemerintah untuk memenuhi tuntutan HAM dari rakyatnya sebab HAM sudah menjadi urusan negara.

PBB tidak secara struktural dan psikologis dirancang untuk mewujudkan janji DUHAM, tetapi hanya merancang institusi yang independen dari politik internalnya. Organ PBB dapat membuat keputusan yang mengikat bagi anggotanya, namun tidak mungkin berjalan jika tidak ada dukungan kekuatan dari dewan keamanan. Kelemahan fungsi komisi HAM di PBB, menurut Roberston (2002: xix—xx) adalah karena tunduk pada kedaulatan anggotanya. Seharusnya sistem perjanjian regional dan pengadilan HAM internasional dapat dipahami dan dihargai, tetapi pada kenyataannya tidak.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja