Penegakan Hukum yang Responsif (2)

Penegak hukum disebut profesional, pertama, karena kemampuan berpikir dan bertindak melampaui hukum tertulis tanpa mencederai nilai keadilan. Dalam menegakkan keadilan, dituntut kemampuan penegak hukum mengkritisi hukum dan praktik hukum demi menemukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang profesional. 

Kedua, pelanggaran profesi tidak pernah hilang, tetapi perkembangannya bisa dicegah. Perlu dicatat, kualitas komitmen bergantung kemampuan membangun self-image positif dan menjadi refleksi pentingnya self-esteem sebagai nilai. Kesadaran akan pentingnya self-image positif dan self-esteem sebagai nilai akan membantu seorang profesional hukum tidak mudah memperdagangkan profesinya. Artinya, keahlian saja tidak cukup. Diperlukan keutamaan bersikap profesional, berani menegakkan keadilan. Konsistensi bertindak adil menciptakan kebiasaan bersikap adil. 

Ketiga, keutamaan bersikap adil menjadi nyata tidak saja melalui perlakuan fair terhadap kepentingan masyarakat, tetapi juga lewat keberanian menjadi whistleblower saat terjadi salah praktik profesi. Seorang profesional seharusnya tidak mendiamkan tindakan tidak etis rekan seprofesi. Ini bagian dari pelaksanaan tugas yang tidak mudah, namun harus dilakukan karena kemampuan bersikap adil menuntut keberanian mempraktikkan, bukan sekadar mengetahui keadilan.

Aparatur penegak hukum dalam kedudukan dan fungsinya masing-masing dituntut untuk bertindak dengan tekad dan semangat yang sesuai dengan cita-cita dan tuntutan profesinya. Integritas dan profesionalisme tidak dilahirkan secara instan, melainkan terbentuk dalam proses menjalankan tugas dan kewajibannya dalam sistem yang baik. 

Franz Magnis-Suseno menunjukkan ada tiga ciri kepribadian moral yang dituntut dari para penyandang atau pemegang profesi luhur ini (aparatur penegak hukum), yaitu: 

  1. Berani berbuat dengan tekad untuk memenuhi tuntutan profesi.
  2. Sadar akan kewajiban yang harus dipenuhi selama menjalankan tugas profesionalnya.
  3. Memiliki idealisme sebagai perwujudan makna ‘mission statement’ masing-masing organisasi profesionalnya.

Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep- konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal, termasuk di dalamnya adalah aparatur penegak hukum. 

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum sangat tergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya, yaitu: 

  1. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri;
  2. Faktor petugas yang menegakkan hukum;
  3. Faktor sarana atau fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum; 
  4. Faktor warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan hukum; dan 
  5. Faktor budaya atau legal culture. 

Faktor hukum atau peraturan yang dimaksud untuk mewujudkan perubahan sosial adalah hukum yang progresif. Penegakan hukum progresif menekankan pada dua hal, yaitu hukum ada untuk manusia dan bukan manusia ada untuk hukum.

Hukum tidak bisa bekerja sendiri, hukum membutuhkan institusi atau manusia untuk menggerakannya. Hukum bukan hanya urusan peraturan atau undang-undang semata, melainkan juga mengenai peranan manusia atau perilaku manusia sebagai bagian dari perwujudan hukum. Melibatkan peranan manusia adalah cara berhukum untuk keluar dari stagnasi dominan yang membabi buta kepada teks undang-undang. 

Adapun pokok-pokok pemikiran model hukum progresif ini dapat diuraikan sebagai berikut ini: 

  1. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada idealnya hukum;
  2. Hukum menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak berhati nurani, melainkan suatu institusi yang bermoral;
  3. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia;
  4. Hukum progresif adalah, “hukum pro rakyat dan pro keadilan”;
  5. Asumsi dasar hukum progresif adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. berkaitan dengan hal ini, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih besar;
  6. Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process,  law in the making).

Oleh karena itu hukum progresif memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut :

  1. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
  2. Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
  3. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan dimensi yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori.
  4. Bersifat kritis dan fungsional.

Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata dan hitam-putih dari peraturan, melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian aparat penegak hukum untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan.

Faktor sarana dan prasanan juga memegang penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.

Dalam hal faktor warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan hukum, bahwa penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sisi tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum.

Sedangkan faktor budaya atau legal culture. Kebudayaan/sistem hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga dianut dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, adalah:

  1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
  2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.
  3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme

Hukum dan masyarakat tidak bisa dipisahkan, bagi hukum masyarakat merupakan sumber daya yang memberi hidup (to nature) dan menggerakkan hukum tersebut. Masyarakat menghidupi hukum dengan nilai-nilai, gagasan, konsep, di samping itu masyarakat juga menghidupi hukum dengan cara menyumbangkan masyarakat untuk menjalankan hukum. 

Peran hukum dalam perubahan sosial sangat bergantung pada aparatur penegaknya, hukum yang ditegakan, dan masyarakat sebagai subyek pemberlakuan hukum tersebut. Komponen aparatur penegak hukum yang diharapkan dapat menggerakan perubahan sosial adalah aparatur penegak yang berintegritas, berwibawa, dan jujur.

Oleh karena itu, penegakan hukum yang berintegritas sebagai instrumen perubahan sosial hanya dapat terwujud apabila aparatur penegak hukum berintegritas, hukum yang progresif, dan dukungan masyarakat yang menjadi subyek penegakan hukum. 

“Good law enforcement agencies are not born but made”. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja