Kritik HAM sebagai Alasan Moral

Kritik HAM sebagai Alasan Moral

Kritik terhadap HAM tertuju khususnya pada adanya kepentingan terselubung (hidden agenda) dari beberapa negara kapitalis yang mensponsori kegiatan Ornop HAM. Para pengkritik mempertanyakan mengapa HAM dapat ditetapkan secara homosentris oleh seorang manusia atau ditentukan oleh negara yang berdaulat. Mereka menganggap HAM hendak ditetapkan sebagai mata uang moral untuk semua kota dan desa di segenap penjuru dunia sebagaimana tesis Gostavo dan Prakash.

Menurut pandangan liberal, pada prinsipnya setiap individu berhak menuntut hak asasi otonominya kepada negara dan masyarakat tanpa membedakan status kedudukan dan kebudayaan. Sebaliknya, golongan tradisional dan komunitarian berpendapat bahwa liberalisme menghancurkan hubungan antarbudaya, kerabat, komunitas, dan mencabut hak anggota kelompok. Jadi, sebenarnya kritik terhadap HAM juga merupakan kritik terhadap modernitas, liberalisme, dan dampak pasar kapitalis menurut aktivis Howard.

Para pengkritik HAM disebut sebagai kelompok tesis Central Park yang berlogika bahwa filsafat HAM bersifat individualis dan antikomunitarian dan kemajemukan. HAM adalah konsep Barat dan Amerika Serikat yang memperlihatkan keserakahan neoliberalisme. HAM di Amerika secara tidak langsung telah membiarkan kejahatan terhadap manusia lain tanpa ada sangkalan dari pihak Ornop HAM sendiri. Menurut mereka implikasi liberalisme banyak yang justru melanggar HAM.

Pada kenyataannya, menurut Wilfred, HAM telah dialihkan menjadi perangkat yang lebih banyak melindungi kepentingan mereka yang mempunyai kekuasaan dan sebaliknya kurang melindungi mereka yang membutuhkan. Bahwa proklamasi modern HAM dimunculkan oleh tradisi liberal yang pada sejarah kelahirannya berpusat pada klaim hak sipil dan politis yang tidak boleh dihambat dalam pelaksanaannya oleh siapa pun. Konsep itu menjadi dasar bagi mereka untuk diimplementasikan.

Pelanggaran terbesar HAM, dipandang dari segi global, adalah ekonomi dunia itu sendiri. Pasar bebas telah menjadikan negara miskin membayar kembali lebih daripada apa yang telah diterimanya dalam bentuk utang melalui agennya, International Monetary Fund (IMF). Mereka menekan pemerintah dunia ketiga agar mengikuti kebijakan ekonomi dunia yang berarti kemiskinan dan pemiskinan. Bahkan juga kematian bagi anggota masyarakat dunia yang paling miskin.

Kapitalisme lintas negara dengan perdagangan pasar bebasnya, dalam kenyataanya, telah merembes sekaligus mencakup seluruh kehidupan manusia. Sesungguhnya, kapitalisme menjadi pelanggar HAM yang tersembunyi. Saat ini kerangka HAM didorong untuk memerangi pelanggaran yang dilakukan oleh negara dan korporat. Strategi dan mekanisme diciptakan terutama untuk memonitor fungsi negara dan menghormati HAM. Gerak kapitalisme dianggap menjadi Leviathan Baru yang sangat sulit untuk dikontrol.

Para pengkritik berpandangan bahwa sangat kontradiktif jika seseorang dapat menggabungkan antara kepentingan pasar dan HAM. Alasannya struktur dan fungsi pasar adalah antitesis bagi HAM, keduanya jelas bertentangan. 

Dari sudut pandang perekonomian neoliberalisme dan pasar kapitalis, advokasi HAM akan dirasakan sebagai tantangan dan kendala bagi keamanan sistem dan struktur pasar. Hal itu terjadi karena yang berlaku adalah tidak ada satu pihak pun yang dapat secara sungguh-sungguh mengabdikan dirinya pada pasar sekaligus kepada HAM. 

Jika ada penampilan yang menunjukkan kesesuaian antara HAM dan pasar, itu merupakan tanda kemunafikan yang nyata. Itulah yang sering dinyatakan oleh banyak bangsa di belahan Selatan ketika melihat bangsa di Utara mempromosikan HAM secara gencar. 

Apa yang disebut sebagai structural adjusment program, yang dipaksakan kepada bangsa lain, sesungguhnya adalah cara untuk mempertahankan sistem perekonomian neoliberalisme dengan mengorbankan kaum miskin dan hak yang mereka miliki. Mereka mempertanyakan bagaimana mungkin berjalan seiring dengan mereka yang tidak memiliki pandangan HAM.

Salah satu faktor dasar dari perekonomian model neoliberalisme adalah kekuatan kompetisi. Segala sesuatu yang didasarkan pada prinsip kesetaraan bertentangan dengan dinamika perekonomian semacam itu sebab sistem ekonomi kapitalis justru didasarkan atas prinsip ketaksetaraan. Faktor itu dibutuhkan oleh sistem demi keselamatan dan keberlanjutan. Sebaliknya, HAM ditegakkan di atas prinsip kesetaraan. Jadi, jelas bahwa HAM dan kapitalisme pasar merupakan dua kubu yang berbeda dan bertentangan. Apalagi kapitalisme pasar selalu menghindari wilayah yang dapat mengakibatkan risiko bagi keuntungannya.

Sistem ekonomi neoliberalis dan pasar terbuka global didasarkan pada model pembangunan yang homogen. Model itu mengikat kerja sama antara para pemodal dan negara model patriarkial di belahan Asia.Bahkan, proyek model pembangunan homogen itu tidak dapat berdampingan dengan komitmen sekaligus kepada kemiskinan dan HAM sebab proyek tersebut berisi kekerasan dan agresi terhadap kemanusiaan. 

Pemberdayaan HAM dan demokrasi dianggap sebagai proyek demokrasi neoliberal dari negara kapitalis Barat yang didasarkan pada pengembangan privatisasi, denasionalisasi, dan deregulasi yang berusaha mengambil alih sebagian peran negara yang telah berlebihan mengooptasi masyarakatnya. 

Tujuannya adalah tersedia pasar terbuka yang dapat memberikan akses kepada pihak luar untuk menanamkan modalnya dan menyalurkan produk industrinya ke negara yang bersangkutan. Akibatnya Wallerstein, Munck, Spar, dan Salmi mencurigai bahwa redemokrasi dalam negara Eropa Timur (Rusia) adalah mekanisme penyesuaian bagi keterlibatan yang semakin dalam serta partisipasi yang semakin meluas di dalam kerangka sistem kapitalis internasional.

Berkaitan dengan itu, pemerintah Amerika Serikat dan Uni Eropa dicurigai menjadi penyandang dana terbesar untuk lembaga demokrasi dan HAM baik di tingkat lokal, regional, maupun internasional. Pihak Amerika Serikat dan Uni Eropa menggunakan mereka sebagai subkontraktor atau agen dalam program bantuannya. Bantuan dana resmi kepada mereka dapat menjadi pedang bermata dua. Alasannya USAID cenderung untuk memengaruhi kelompok jaringan tersebut dan sekaligus mengarahkan tujuan mereka agar sesuai dengan kepentingan politik luar negerinya, segaimana kajian Clark pada 1995.

Bagi bangsa di Selatan, dunia ketiga, dan negara pascakomunis, isu HAM pada zaman modern dihubungkan dengan perjuangan mereka melawan kekuasaan rezim kolonial, rezim militer, dan rezim otoritarian-totalitarian komunis yang merupakan bentuk nyata untuk mengklaim hak mereka yang sah. Namun, dalam prosesnya kebanyakan, negara kembali melakukan pelanggaran HAM atas rakyatnya sendiri, seperti rezim terdahulu.

Berhubungan dengan globalisasi, HAM tidak lagi menjadi masalah nasional, tetapi sudah menjadi masalah internasional. Dalam konteks itulah akan selalu muncul perbedaan pandangan dalam menginterpretasi pelanggaran HAM yang terjadi di suatu negara atau menginterpretasi intervensi satu negara ke negara lain.

Masyarakat internasional, bahkan komisi HAM PBB sendiri, hampir ragu untuk mengatakan bahwa intervensi Israel ke wilayah Libanon adalah pelanggaran HAM atau intervensi militer AS ke Afganistan adalah pelanggaran kemanusiaan atau penjara Gulak baru yang dibangun AS di Guantanamo Kuba, adalah pelanggaran HAM. Semua kasus tersebut menjadi wajar ketika perspektif yang lebih kuat membenarkan tindakannya. Dengan demikian, masalah HAM akan selalu dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, baik nasional, regional, maupun internasional.








 








 








 








 








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja