Memahami Teori Hukum Pembuktian

Hukum pembuktian diatur dalam buku IV Burgelijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 

Memuat segala aturan-aturan pokok pembuktian dalam perjanjianperdata. Pembuktian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya berhubungan dengan perkara saja. 

Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para pihak yang berperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memeroleh dasar kepastian untuk menjatuhkan keputusan.

Pembuktian menurut Pitlo adalah suatu cara yang dilakukan suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya. Menurut Subekti yang dimaksud dengan membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.

Sudikno Mertokusumo menyatakan membuktikan mengandung beberapa pengertian:

  1. Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah, berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan;
  2. Membuktikan dalam arti konvensionil, berarti memberikan kepastian yang nisbi atau relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan yaitu kepastian yang didasarkan atas perasaan saja atau bersifat instuitif (conviction intime) dan kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee);
  3. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis dalam arti yuridis adalah memberi dasar-dasar yang cukup pada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan untuk memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Tujuan pembuktian adalah untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran  peristiwa, maka dari itu yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian-kejadian yang dikemukakan oleh para pihak yang masih belum jelas atau yang masih menjadi sengketa di pengadilan. 

Seberapa kuat pembuktian menjadi penting berkaitan dengan kualitas pembuktian berupa bukti otentik, yaitu bukti yang diyakini kebenarannya terjadinya sesuatu yang berhubungan dengan pelanggaran sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban secara hukum memang harus dilakukan. 

Kualitas pembuktian melalui pemeriksaan saksi, ahli, dan bukti-bukti yang diajukan akan sangat memengaruhi keyakinan hakim. Pembuktian termasuk soal beban pembuktiannya, asas hukum mengenal siapa yang mendalilkan, maka  bersangkutan yang membuktikan.

Ian Dennis sebagaimana dikutip Edward O. S. Hiariej, ada empat hal fundamental dalam pembuktian, yaitu:  

  1. Relevan, bukti yang disampaikan harus berkaitan dengan suatu sengketa; 
  2. Admissible, bukti yang berarti dapat diterima, suatu bukti yang relevan belum tentu dapat diterima, tapi primavasi dari bukti yang dapat diterima adalah bukti yang relevan; 
  3. Exclusionary rules, persoalan cara perolehan bukti, harus dengan jalan-jalan konstitusional, harus dengan cara-cara yang benar menurut hukum. Definisi exclusionary rules sebagai prinsip hukum yang mensyaratkan bahwa bukti yang diperoleh secara illegal tidak dapat diterima di pengadilan. Terlebih dalam rangka mencari kebenaran materiil, bukti tersebut dapat dikesampingkan oleh hakim jika perolehan bukti tersebut tidak sesuai dengan aturan; 
  4. Dalam konteks pengadilan, setiap bukti yang relevan dan dapat diterima harus dapat dievaluasi oleh hakim. Dalam konteks yang demikian, kita memasuki kekuatan pembuktian atau weight of the evidence atau bewijskracht. Di sini hakim akan menilai setiap alat bukti yang diajukan ke pengadilan, kesesuaian antara bukti yang satu dan bukti yang lain, dan kemudian akan menjadikan bukti-bukti tersebut sebagai dasar pertimbangan hakim dalam mengambil putusan.
Lebih lanjut menurut Ian Dennis, teori pembuktian yang berlaku universal ada tujuh jenis alat bukti, yakni meliputi: direct evidence, indirect evidence, testimonial evidence, documentary evidence, substitute evidence, demonstrative evidence, physical evidence. 

Ketujuh jenis alat bukti ini dibagi dalan tiga hirarki, yakni sebagai berikut:
  1. Primary evidence: direct evidence contoh saksi mata, surat, keterangan para pihak. 
  2. Secondary evidence: indirect evidence, suatu potongan-potongan yang akan dirangkai; pisically evidence. 
  3. Tertier evidence: petunjuk, demonstrative evidence atau rekonstruksi, untuk mengantar keyakinan hakim.
Peristiwa-peristiwa yang harus dibuktikan di muka sidang pengadilan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 
  1. Peristiwa yang dibuktikan harus merupakan peristiwa yang menjadi sengketa, karena tujuan dari pembuktian adalah mencari kebenaran untuk menyelesaikan sengketa; 
  2. Peristiwa yang dibuktikan harus dapat diukur, terikat oleh ruang dan waktu;
  3. Peristiwa yang dibuktikan harus mempuyai kaitan dengan hak yang disengketakan;
  4. Peristiwa itu efektif untuk dibuktikan. Terkadang untuk membuktikan adanya suatu hak terhadap peristiwa memerlukan beberapa rangkaian peristiwa, oleh karena itu peristiwa yang satu dengan lainnya harus merupakan satu mata rantai;
  5. Peristiwa tersebut tidak dilarang oleh hukum dan kesusilaan.
Dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Pada dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil. Akan tetapi bila kebenaran materiil tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja