Menyaksikan Keindahan Operasi Bedah Otak


Saya baru saja menyaksikan episode Sacred Brain, satu dari empat episode serial dokumenter original Netflix berjudul The Surgeon’s Cut yang rilis mulai pada 9 Desember 2020.

Episode yang luar biasa. Sangat emosional dan penuh inspirasi. Berkisah dokter jenius yang rendah hati bernama Alfredo Quinones-Hijnosa.

Selama menonton durasi sepanjang 55 menit, saya nyaris tidak berkedip. Sacred Brain disutradarai oleh Lucy Blakstad, menangkap hal-hal menakjubkan dalam proses operasi rumit yang terkait Alfredo Quinones-Hijnosa menarasikan perjalanan hidupnya dengan sangat indah. 

Terlahir dari pinggir rel kereta api, kemudian Alfredo remaja ikut kakek bekerja sebagai buruh tani migran di Meksiko yang tak jauh dari perbatasan dengan Amerika Serikat.

Ia tidak pernah bermimpi menjadi dokter ahli bedah otak, bahkan tak tahu apa itu bedah otak, dan kini belum sepenuhnya ia percaya sebagai kepala dan dokter bedah di Mayo Clinic di Jacksonville, Florida. Satu rumah sakit bedah terbaik di dunia. 

Dr. Alfredo Quinones telah mengoperasi lebih dari 250 otak setiap tahun. Mengoperasi tumor otak apapun yang pernah ada, dianggapnya sebagai berkah luar biasa, keindahan dari pekerjaannya. 

Otak merupakan organ dengan kemampuan luar biasa untuk bekerja selaras dengan jantung. Organ yang memegang rahasia kemanusiaan, memungkinkan kita untuk bergerak, berbicara, melihat, mencium, memahami, menari, bernyanyi, mencintai. Itulah kunci alam semesta.

Otak adalah organ terindah dalam tubuh manusia yang tak terjamah. Diciptakan tidak untuk dibuka, jadi pekerjaan bedah otak tidak wajar, menentang alam, kata Alfredo. Membuka tengkorak, memotong membran otak, selaput halus itu sakral. Otak adalah misteri, kita hanya memahami sedikit tentang itu, dan memiliki banyak sekali jalur yang diungkap. 

Pada episode Sacred Brain, ia mengajak kita masuk ruang operasi yang magis, untuk menyaksikan operasi pengangkatan tumor kambuhan pasien Robert Hawking, operasi kedua setelah yang pertama pada 2006 saat sebagai peselancar dan masih bujang. Tumor Rober tumbuh sebesar jeruk limau yang membuat ia tak bisa menggerakkan banyak bagian tubuhnya. Alfredo selalu menganggap tumor sebagai musuh yang harus dia kalahkan. 

Rupanya saat bedah otak, pasien tetap dibuat sadar selama operasi agar bisa melihat efek saat operasi berlangsung. Sekaligus meningkatkan risiko jika terjadi kesalahan tapi juga kesempatan terbaik mengangkat tumornya sebanyak mungkin.

Perjuangan yang sangat sulit secara emosional dan fisik. Semuanya bisa berakhir tak sesuai harapan, namun ia selalu memberi harapan pada pasien dan keluarganya saat mereka sangat membutuhkannya. 

Benar-benar hidup yang menginspirasi banyak orang. Kecemerlangan, kebaikan, dan kepedulian Alfredo terhadap pasien membuat saya berharap semua dokter dapat seperti Alfredo Quinones-Hijnosa.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja