Penegakan Hukum yang Responsif (1)

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 

Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). 

Menurut Jimly Asshiddiqie, penegakan hukum dapat ditinjau dari sudut subyeknya dan dari sudut obyeknya. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Sedangkan penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. 

Secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. 

Penegakan Hukum Progresif

Hukum Progresif merupakan sebuah cara berhukum yang didasarkan pada kepedulian yang tidak kunjung henti untuk mendorong hukum yang lebih baik.

Fundamen hukum progresif adalah manusia, bukan bahan hukum. Menurut Profesor Satjipto, manusia yang menjadi fundamen hukum itu haruslah baik dan bernurani sehingga layak menjadi modal dalam membangun kehidupan berhukum yang progresif.   

Dalam merubah keadaan dan membebaskan diri dari krisis fungsi dan legitimasi cara berhukum yang status quo (yang mengedepankan rules dan tekstual), hukum progresif mendasarkan diri pada sejumlah postulat progresivisme, antara lain: 

  1. Hukum untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum adalah alat bagi manusia untuk memberi rahmat kepada dunia dan kemanusiaan;
  2. Pro-rakyat dan pro-keadilan. Hukum itu harus berpihak pada reakyat, dankeadilan harus didudukkan di atas peraturan; 
  3. hukum progresif bertujuan mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan kebahagiaan;
  4. Hukum progresif menekankan hidup baik sebagai dasar berhukum;
  5. Hukum progresif berwatak responsive, yakni hukum selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri (berupa mengabdi kepada manusia dan kesejahteraan);
  6. Hukum yang berhati nurani; Hukum progresif dijalankan dengan kecerdsan spiritual, yakni usaha mencari kebenaran makna atau nilai yang lebih dalam.    

Konsep hukum progresif Satjipto Rahardjo lahir dari kegelisahan menghadapi kegelisahan hukum. Pendekatan hukum progresif pada prinsipnya  menekankan pentingnya kiprah pengemban hukum individual (hakim, jaksa, dan polisi). Pada saat yang sama interaksi antara sistem politik dan sistem (hukum) di mana para pengemban hukum individual bekerja perlu pula mendapat perhatian. 

Satjipto menyatakan bahwa “hukum itu bukan  hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.”   

Kritikan ini tertuju pada dominasi pemikiran hukum negara sebagai instrumen (bangunan hukum) yang ditujukan pada pencapaian tujuan pembangunan (ekonomi) versi negara, yang bagi Satjipto tidak mencerminkan bangunan ide, kultur dan cita-cita dari manusia yang menjadi obyek dari pemikiran hukum dan pembangunan. 

Oleh karena itu, manusia (individu) dianggap menjadi penentu dan mejnadi orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya mengabdi pada kesejahteraan manusia. Itulah sebabnya hukum progresif  menganut ideologi: Hukum yang pro-rakyat dan hukum yang pro-keadilan”. Hukum harus mewujudkan keadilan (substantive) bukan terutama kepastian procedural. 

Itulah sebabnya, dalam negara hukum Indonesia, yang diunggulkan adalah ‘olah hati nurani’ untuk mencapai keadilan yang dimaknai sebagai rule of moral atau rule of justice. 

Kritikan tersebut lebih ditujukan pada cara berhukum yang dijalankan oleh kekuasaan kehakiman, artinya lebih pada penegakan hukum – bukan pada proses maupun substansi pembuatan perundang-undangan atau implementasinya – yang terlalu mementingkan prosedur (aturan tertulis) dan bukan tujuan pencapain keadilan. 

Hakim dalam pandangan hukum progresif tidak boleh (mutlak) terikat pada struktur rasional, prosedur dalam berhadapan dengan perkara konkret, melainkan harus mengolah hati nurani. Dengan kata lain, penekanannya pada progresivitas serta pemihakan hakim lebih pada keadilan.

Penegakan Hukum Berintegritas

Integritas secara sederhana dapat diartikan suatu konsep berkaitan dengan konsistensi dalam tindakan-tindakan, nilai-nilai, metode-metode, ukuran-ukuran, prinsip-prinsip, ekspektasi-ekspektasi dan berbagai hal yang dihasilkan. Integritas bertalian dengan moral yang bersih, kejujuran serta ketulusan terhadap sesama dan Tuhan YME.

Dalam kaitan dengan penegakan hukum, yang dimaksud dengan integraitas adalah berkaitan dengan intergritas aparatur penegak hukum. Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orang) penegak hukum. 

Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimuali dari polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya, yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan tau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisai) terpidana.

Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang memengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materiilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.

Untuk mewujudkan aparatur penegak hukum yang berintegritas, diperlukan aparatur penegak hukum yang profesional, cakap, jujur, dan bijaksana. Para penegak hukum memiliki tanggung jawab menegakkan wibawa hukum dan menegakkan keadilan. Profesionalisme penegak hukum dapat dilihat dari tingkat penguasan ilmu hukum, keterampilan dan kepribadian para penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam bekerja. 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja