Atlet Legenda: Yelena Isinbayewa dan Liu Xiang

Terlepas kita semua sudah berusaha dan bekerja semampu yang bisa kita lakukan. Bahwa hidup itu seperti roda, kadang berada di atas dan kemudian berputar ke bawah, memang benar adanya. 

Hukum alam ini menimpa siapa saja tepat pada waktunya yang kita sendiri tidak mengetahui pastinya, dan itulah dinamikanya yang membuat kehidupan ini terdapat banyak cerita yang layak dikenang sekaligus dijadikan inspirasi. 

Kali ini saya (kita) dapat belajar banyak hal dari dua sosok atlet Olimpiade legendaris di cabang olahraga Atletik, pelompat galah putri Russia, Yelena Isinbayeva, dan sprinter lari gawang 100 meter asal China, Liu Xiang. 

Pada tiga olimpiade terakhir penampilannya, Athena 2004, Beijing 2008, dan London 2012, bagi keduanya menujukkan bahwa kesuksesan dan kegagalan dalam satu persaingan di dunia olahraga adalah hal biasa, hampir tidak ada jarak.

Saya penggemar berat Yelena Isinbayeva sejak tahun 2004. Isinbayeva berbeda dengan atlet lain di tiga Stadion Utama Olimpiade, selain karena torehan prestasinya yang mengilap, juga karena ia dikaruniahi wajah jelita dan postur tubuh yang menawan. Hampir tak ada kedipan mata menyaksikan aksi perempuan yang saat ini 38 tahun ketika berusaha menggapai langit dengan tongkat galanya.

Isinbayeva adalah ratu dalam nomor gala nyaris satu dekade awal abad ke-21. Dua kali emas Olimpiade Beijing 2008 dan Athena 2004, kemudian lima kali kampiun kejuaran dunia lengkap dengan rekor dunia mistar setinggi 5, 01 meter. Isinbayeva datang ke London 2012 dengan misi menjadi legenda sebagai juara Olimpiade tiga kali berturut. Secara obyektif, tak ada keraguan untuk hal itu.

Nyatanya tidak. Isinbayeva gagal mewujudkannya. Dia hanya sanggup melompat 4,70 meter untuk diganjar perunggu. Emas nomor ini milik Jennifer Suhr dari AS yang melompat 5 cm lebih tinggi darinya. Kegalauan tentu merasukinya, matanya menatap kosong nyaris berkaca-kaca, namun tak perlu lama dia kembali untuk menerima hasil ini secara fair. 

Kegagalan dan kemudian motivasi memperbaiki diri seperti ini hanya ada di mental seorang juara sejati. Terlepas empat tahun nanti dia gagal lagi, itu tidak akan melepaskan predikat seorang Olympian hebat pada dirinya.

*****

Lihat pula aksi heroik juara sejati pada seorang Liu Xiang di lintasan atletik Athena, Beijing, dan London. Ketika Olimpiade Athena 2004, Liu menghentak kita semua dengan meraih gelar bergengsi 110 meter gawang, sekaligus menajamkan rekor olimpiade dan dunia. Namanya harum karena berhasil mendobrak dominasi barat di nomor tersebut. 

Di China kemenangan fenomenal Liu menjadi inspirasi bagi orang-orang China untuk menekuni Atletik. Singkat cerita, Liu adalah bintang yang sangat terkenal dan menjadi atlet idola negeri "tirai bambu".

Empat tahun berselang, ketika Olimpiade diselenggarakan di Beijing, Liu adalah ikon. Publik tuan rumah tidak sanggup menahan sabar melihat penampilan Liu mempertahankan gelar di stadion kebanggan mereka, Bird Nest Stadium. 

Faktanya tidak sedikit menangis melihat kesakitan kaki Liu terkena cedera tendon achilles yang membuatnya tidak sanggup berlomba meski sudah berada di grid lintasan. Liu mengundurkan diri sebagi juara bertahan diiringi kesedihan dan duka mendalam bagi atletik dan kontingen China.

Setelah sedikit demi sedikit bangkit dari siksa cedera dan mempersiapkan diri, Liu kembali ke lintasan sebagai salah satu favorit juara. Namun tak ada yang bisa menduga momen kegagalan Liu di Olimpiade London 2012 lalu menuai simpati masyarakat dunia olahraga.

Secara tragis Liu cedera lagi di saat paling diimpikan. Di babak eliminasi pertama, Liu menabrak gawang sebagai halangan pertamanya, lalu terjatuh kemudian jauh tertinggal. Momen inilah Liu memperlihatkan kepada kita bahwa dia adalah atlet Olimpiade sejati.

Alih-alih mengundurkan diri dari lomba, sempat ke ruang medis, Liu kembali masuk lintasan dan secara luar biasa Liu memutuskan melanjutkan lomba sampai menyentuh garis finish di tepi lintasan, meskipun hanya dengan satu kakinya. Liu berjinjit. Semua gawang sepanjang lintasan tak sanggup lagi dilompati Liu, gawang-gawang lintasan itu diciumnya kemudian finish secara mengharukan dengan disambut para peserta pesaingnya serta tepuk tangan penghormatan kepada aksi luar biasa seorang atlet Olimpiade yang menjunjung sportifitas dan pengorbanan. 

Sungguh aksi luar biasa. Ada yang lebih hakiki bagi seorang atlet daripada kemenangan yakni, sportivitas, semangat, dan keberanian membara layaknya api Olimpiade.

Salam. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja